Kamis, 28 Juni 2012

Dua Keping Hati

Deburan ombak sayup terdengar. Mengantarkan hawa sejuk pada setiap pendengarnya. Mengiringi bulan yang merangkak naik, menjumpai malam. Bersama canda, tawa, dan senyum setiap orang yang saling berhadapan. Pada meja-meja mereka. Langsung menghadap laut pada ruang tanpa atap.
Seorang gadis duduk disudut ruangan. Dengan jilbab rapi menutupi tubuhnya, berwarna secerah langit pagi. Pada malam yang berhiaskan bintang. Ia hanya menatap langit, menghitung bintang. Berharap satu dapat dimilikinya. Tidak lagi Ia peduli pada kopi dihadapannya yang sudah dingin, hanya sesekali diseruputnya. Memandang bintang selalu bisa mendamaikan hatinya. Membuatnya lupa pada setiap luka dan duka.
Tak berapa lama berselang, seorang gadis berkulit putih bersih, rambut tergerai ke bahu, dan tinggi semampai menghampirinya. Duduk dikursi dihadapannya. Dengan senyum merekah. Sungguh pemandangan indah, melihat dua gadis yang sangat mirip duduk berhadapan.
“Kak Fina, maaf saya telat.” Katanya kepada sang kakak yang masih menatap bintang.
“Fira, liat deh. Bintangnya indah sekali kan.” Katanya tanpa menanggapi ucapan adiknya. “Saya lebih suka kalau bulan malam ini tidak tampak, saya hanya ingin melihat bintang.”
***
Kedua kakak adik itu meninggalkan restoran, tiba di rumah tetap pukul sepuluh. Tidak biasanya mereka diluar rumah sampai selarut ini, kalau bukan karena Fira yang kelamaan mengajar privat tadi. Tapi tidak pernah Fina mendongkol kepada adik satu-satunya. Karena rasa sayang mereka, bisa menghapuskan segala rasa benci di hati masing-masing.
Fina dan Fira memang kembar. Secara fisik mereka sangat mirip. Tapi, sangat kontras bila melihat kepribadian keduanya. Fina dengan kedewasaan dan kelembutannya, sedangkan Fira dengan sikap tomboi dan terlalu ingin mandiri. Ditambah lagi sikap Fira yang masih saja menolak untuk mengenakan jilbab.
“Fira, belajarlah untuk menutup auratmu.” Kata Fina mengingatkan adiknya. “Lebih baik bagi seorang muslimah untuk menutupnya rapat.” Sambungnya. Saat mereka sarapan sebelum berangkat ke kampus.
“Tapi pakai jilbab itu panas Kak Fina.” Kata Fira sambil mengangkat wajahnya. “Saya tidak tahan, gerah.” Lanjutnya sambil mengipas-ipaskan tangan ke wajahya, disertai kerutan diantara kedua alisnya.
“Kakak sangat berharap kamu mau mengenakannya, walau tidak sekarang Fira.” Kata Fina masih dengan kelembutan.
Fina tidak ingin menyakiti hati saudara kembarnya, saudara yang hanya lebih muda tiga menit darinya. Ia yakin suatu saat kekerasan hati adiknya akan luluh. Walau sebenarnya sangat ingin Fina mengatakan bahwa orang yang melihat Fira, sama saja dengan Fina yang tidak berhijab. Serapat apapun Ia menutupnya. Karena keduanya seperti cermin dan bayangan.
***
Tidak seperti Fira yang mengajar privat kepada siswa sekolah dasar, sepulang kuliah Fina hanya tinggal di rumah. Orang tuanya khawatir akan kesehatan putri sulung mereka. Sejak masih bayi sudah menjadi langganan rumah sakit. Hingga belakangan diketahui bahwa Fina menderita penyakit jantung bawaan, karena ada lubang pada jantung sebesar 8 mm disebabkan pertumbuhan jantung yang tidak sempurna saat dalam kandungan.
Hal ini membuat orang tuanya memiliki rasa khawatir yang berlebihan. Dan itu cukup beralasan. Karena pertumbuhan Fina lebih lambat dibanding adiknya, sampai mereka memutuskan untuk operasi penambalan jantung, atas saran dokter keluarga mereka. Bersyukur adiknya tidak menderita penyakit ini. Dan tiga hari setelah operasi yang berlangsung selama tiga jam, kondisi Fina membaik dan bisa tumbuh normal menyamai Fira. Ini sungguh kebahagiaan mendalam yang dirasakan keluarganya.
Walau demikian, ibunya masih sangat khawatir bila harus membiarkan Fina beraktifitas aktif seperti Fira. Meski Fira bisa menjaga kakaknya. Ditambah lagi, ketakutan Fina pada hujan deras. Namun Fira justru menyukai hujan.
“Firaaa…”. Teriak Fina tiba-tiba.
“Kak Fina, ini cuma hujan”. Kata Fira menenangkan kakaknya. “Hujan itu Rahmat bagi seluruh alam Kak”. Lanjutnya.
Fina tahu bahwa hujan adalah Rahmat. Tapi entah kenapa Ia tetap saja takut bila mendengar suara hujan. Apalagi bila disertai awan gelap menggumpal, menutup cahaya dari langit. Seakan tidak akan ada lagi cahaya mentari esok.
***
Hari ini, Fina tidak ada kuliah, Ia hanya tinggal di rumah. Membaca novel atau menghapal ayat-ayat dari Al-Qur’an. Tiba-tiba Fira masuk ke kamarnya dengan terburu-buru.
“Kak Fina hari ini tidak kuliah kan?” Tanya Fira dengan mimik wajah serius.
“Iya, ada yang bisa saya bantu Tuan Putri?” jawabnya diiringi candaan kepada adiknya.
“Hari ini saya ada praktek lapang. Seharusnya besok tapi dipercepat Kak”. Fira mengatur nafas. “Dan jam dua siang, saya ada jam ngajar…” Katanya menggantung, berharap kakaknya bisa menolongnya.
“Terus, hubungannya dengan kakak?” Tanya Fina seakan tidak mengerti.
“Rumahnya tidak jauh dari sini kok, juga dekat dari jalan raya.” Kata Fira dengan tampang memelas.
“Mana hand booknya?” Kata Fina akhirnya. Spontan Fira memeluk kakaknya, penuh terima kasih.
***
Fina sudah siap dengan tugas yang diamanahkan adiknya. Jilbab rapi sudah menutupi tubuhnya. Bedak yang dipoles seadanya, untuk menghalangi dari paparan sinar matahari. Walau tidak begitu terik karena terhalang awan. Setelah mencari-cari akhirnya rumah yang dimaksud ketemu.
Pagar tinggi, halaman luas. Tapi terlihat sepi. Fina memencet bel. Tidak lama berselang, seorang ibu setengah baya keluar dari dalam rumah. Sepertinya Ia pembantu disini.
“Saya guru privat yang mau mengajar Ari.” Kata Fina kaku.
“Iya, silakan masuk, Den Ari sudah menunggu”. Kata Ibu tersebut. “Mbak Fira pake jilbab yah?!!” lanjut Ibu tersebut spontan. Hanya dijawab dengan sunggingan oleh Fina. Tidak berniat Ia untuk menceritakan bahwa dia bukan Fira, tetapi Fina.
“Cantiknyaa kak Fira pake jilbab.” Kata Ari tulus setelah menyalami tangan gurunya itu.
“Makasih Ari. Sekarang kita mulai belajarnya yah.” Kata Fina sambil mengeluarkan alat mengajar dari dalam tasnya.
Keduanya tenggelam dalam kegiatan belajar mengajar. Hingga waktu 90 menit hampir selesai. diluar rumah, awan yang tadinya mendung kini telah menjatuhkan hujan satu-satu. Kemudian semakin deras.
“Kak Fira, kakak suka hujan kan?” Tanya Ari tiba-tiba.
“Eh, iya.” Jawab Fina kikuk.
“Main hujan yuk Kak Fira, kita kan sudah belajar.” Kata Ari dengan senyum khas anak-anak. Penuh keceriaan.
Tidak sampai hati Fina menghapus senyum indah itu, “Ya sudah, ayo.” Katanya sambil tersenyum. Walau terkesan sedikit dipaksakan…
Awalnya mereka hanya bermain di halaman. Tapi, karena hujan tak kunjung berhenti. Sehingga Ari mengajaknya bermain di jalan. Sejak tadi Fina sudah tidak tenang, rasa khawatir, gugup, dan tidak berdaya bercampur menjadi satu. Tapi, tidak kuasa Ia menghilangkan kebahagiaan yang terlihat jelas dari wajah anak itu. Hingga, suatu kejadian diluar kehendaknya terjadi.
Sebuah mobil melaju kencang, karena hujan mengguyur deras sehingga penglihatan tidak begitu tajam. Di saat bersamaan Ari berlari ke tengah jalan, hendak mengambil sebuah layangan yang sudah basah kuyup. Fina dengan sisa-sisa tenaganya, berlari hendak mengambil Ari. Namun terlambat, karena mobil semakin dekat.
Tidak ada lagi yang dirasakan Fina, hanya suara tangisan dan teriakan Ari yang terdengar. Lalu semua menjadi gelap. Sangat gelap.
***
Fira duduk di balkon kamar kakaknya, menatap langit penuh bintang. Tanpa bulan disana.
“Kak Fina, bintangnya sangat indah. Tidak ada bulan. Kakak suka malam seperti ini kan?” hanya sepi yang menjawab Tanya Fira.
Air mata sudah sejak tadi membasahi wajahnya, gerimis dihati karena kehilangan kepingan hatinya. Rasa bersalah dan penyesalan melingkupinya. Andai kakaknya masih berada di sisinya, Ia pasti akan tersenyum. karena kini adiknya sudah mengenakan jilbab untuk menutupi auratnya.
“Maafkan Fira kakak. Tidak bisa menjaga kakak. Fira sayang Kak Fina.” Katanya sambil menatap langit penuh bintang. Seberkas senyuman indah terlukis disana. Ya itu senyuman Fina.

Rabu, 27 Juni 2012

Inilah Waktu

waktu...
datang tanpa pernah memahamkanku lebih
pergi tanpa peduli betapa aku butuh
masih butuh detik itu
detik saat kamu ada disini
meminjamkan bahumu untuk sekedar merasakan gundahku

waktu…
kini semakin jauh meninggalkanku
ingin rasanya kembali
kembali pada keadaan indah
saat kita masih tertawa riang
saling bertukar cerita

waktu...
kini berhasil memisahkan raga
menyisakan kenangan, dengan sejuta warna
warna yang ingin ku pudarkan saja
hingga tak ada luka, saat kepingan kenangan tentangmu
kembali mengisi rongga ingatanku
bukan karena aku menyesal sahabat
terlebih karena aku belumlah kuat
melalui hariku tanpa sosok ceriamu disini.
waktu...
membuatku kini begitu merindukanmu
merindukan tawa riangmu sahabat.
saat kita saling melempar air laut
berkejaran hingga senja meninggalkan siangnya.

waktu...
selalu saja membuatku merindukanmu.
dengan caranya sendiri.
walau tahu bahwa hanya senyum riang
dalam bingkai birumu yang dapat kupandangi kini.

Waktu…
Memaksa mendewasakanku
Mengajarku untuk ikhlas
Karena ada kehendak yang tidak bisa dilawan
Selamat jalan sahabat
Semoga Engkau tenang disisi-Nya
Sosokmu akan selalu utuh dihatiku.