Kamis, 12 Juli 2012

Bersama Hujan

Matahari sukses mengalirkan kerigatku. Menjadikan kemeja putihku basah oleh aliran air dengan rasa asam. Bukan karena saya belum mandi pagi tadi, tapi karena ginjal yang sibuk mengeluarkan air kotor melalui sela pori-pori kulitku. Sehingga tidak perlu saya keseringan mengunjungi kamar kecil siang ini.
Saya menyukai matahari, bahkan sangat suka. Tapi, bila begitu menyengat seperti siang ini. sepertinya aku lebih memilih untuk bertemu hujan saja. Karena hujan selalu hadir membawa kedamaian. Apalagi, kata ibuku salah satu waktu terkabulnya do’a adalah ketika hujan. Makanya berdo’alah ketika hujan, karena hujan adalah berkah.
Ibuku memang pandai menyenangkan hatiku. Selalu ada cerita saat bersamanya. Selalu ada tawa disela gelitikan manja. Selalu merindukan ibu, bersama gelak tawa dari ruang tengah. Atau dari balik selimut hangat ketika hujan mengguyur. Dalam dekapan ibu.
Jauh dari ibu, jauh dari kehangatan. Tapi, hidup kan tidak pernah datar. Tidak pernah begitu-begitu saja. Tidak ada juga yang bisa aku berikan untuk hari tuanya kelak, bila kini aku hanya mencari hidup yang nyaman.
Yah. Aku memilih untuk menambah pengetahuanku ibu. Kuliah ke kota, sesuai nasehatmu. Semoga kelak aku bisa menjadi ‘orang’. Orang seperti  yang selalu engkau sebut dalam do’a-do’a panjangmu.
Musim yang tak menentu, menjadikan hujan dan panas saling berganti menghiasi bumi. Atau bahkan datang secara bersamaan. Tapi, aku bersyukur bisa melihat dan merasakan hujan lebih dari biasanya.
Dengan melihat hujan, aku bisa lebih sering mengingatmu. Merasakan setiap kata dalam do’amu menyapa. Diantara tetes bening hujan. Walau dinginnya membuatku rindu. Rindu dekapan dan selimut hangat.
Kasian bumi ini semakin tua. Tak mampu lagi memilih dan memilah musim secara bijak. Membuat musim seakan ingin datang secara bersamaan. Tapi, yang dibawa bukanlah senyuman. Justru kebingungan mendalam bagi petani.
Ingin menaman padi, karena hari ini hujan. Besok, lusa langit sangat biru. Tanpa gumpalan awan disana. Membuat padi-padi itu layu, karena hujan mengizinkan matahari datang lebih dulu.
Sepenuhnya ini bukan kesalahan hujan, bahkan sedikitpun bukan. Mana mungkin berkah ini salah. Ini kekeliruan manusia ibu. Terlena dengan semaraknya dunia modern. Membuatnya lupa bahwa bumi ini punya lapisan pelindung. Lapisan yang sewaktu-waktu bisa aus. Karena usianya semakin bungkuk.
Lapisan yang tak mungkin diganti oleh manusia. Karena bukan manusia yang membuat itu. Allah yang menjadikan lapisan itu. Sehingga hanya Allah pula yang berhak atas ciptaan-Nya.
Kita hanya bisa berharap, semoga masa penggunaan lapisan itu. Bisa lebih lama. Hingga kelak aku juga bisa menikmati hujan bersama anak, cucu dan cicitku. Sehangat caramu ketika mendekapku ibu…

Rabu, 04 Juli 2012

Untuk Ayahku

Tak pernah cukup rasa terima kasihku, untuk mengungkap balasan atas segala cintamu. Mulai dari A Ba Ta engkau ejakan padaku. Hingga tadarrus pun engkau terus menuntunku. Mengajakku mengaji bersama selepas maghrib berjamaah.
Entah apa yang membuatku lebih senang berbagi cerita kepadamu, mungkin karena ibu lebih senang bercengkerama dengan adik laki-lakiku. Ataukah sudah menjadi hukum alam, seorang anak perempuan akan lebih akrab dengan ayahnya, begitupun sebaliknya.
Ini kisah tentang ayah, jadi tak akan banyak singgungan tentang ibu disini, tapi ibu harus tahu bahwa anak perempuanmu ini sungguh sangat mencintaimu. Sama seperti cintaku kepada ayah. Walau Nabi meminta umatnya agar lebih mematuhi ibunya tiga kali, kemudian ayahnya sekali.
Ayah, keteladananmu selalu membuatku rindu akan sosokmu. Setiap sikapmu, berusaha untuk menjadi contoh yang baik bagiku. Seperti nasi yang tak engkau biarkan bersisa di piring, walau hanya sebutir. “Rejeki itu harus disyukuri, dengan cara menghabiskannya”. Aku sudah menerapkan itu ayah, minum sambil duduk dengan menggunakan tangan kanan, juga sudah kudapatkan dalam bidang ilmuku, berdasarkan dari sunnah Rasulullah SAW.
Ayah, tulisanku ini mungkin sangat tidak sedap untuk dibaca, tapi ku ingin engkau tahu. Betapa aku sangat bersyukur kepada Allah. Karena telah memberikanku ayah penuh tanggung jawab dan kasih sayang kepada aku, ibu, dan adikku. Walau tanpa segan engkau menarik kupingku saat membandel, atau membuat adikku menangis. Ku ingat itu saat masa kanak-kanakku. Tapi, tak pernah engkau menyentuh bagian tubuhku yang lain saat marah, kecuali kuping kesayanganku.
Engkau juga dengan telaten merawat kuku jempol tangan kiriku, yang tanpa sengaja tertebas pisau saat aku mengupas tebu. Menyebabkan kukunya sukses terlepas hingga ke pangkal. Engkau merawatnya betul-betul hingga kuku jempolku kembali seperti sediakala. Ini juga disebabkan karena tulangku yang masih kanak-kanak memiliki potensial untuk koreksi remodeling. Sehingga dapat sembuh kembali. Untuk urusan ini aku lebih mempercayaimu ketimbang ibu.
Ketika aku demam tinggi pada malam hari, aku memanggil ibu. Secara setengah sadar. Itu karena secara naluriah aku memang tidak bisa jauh dari ibu. Hingga engkau dan ibu memutuskan untuk membelikanku obat, di malam buta. Dengan berjalan kaki sejauh dua kilometer. Karena kita belum memiliki kendaraan saat itu, juga apotek yang jauh dari rumah. Nenek turut datang untuk menjagaku.
Kehangatan dalam keluarga ini, membuat segala perih menjadi canda. Walau kini jarak telah memisahkan kita. Inipun atas do’amu yang selalu meminta kepada Allah agar memberi jalan terbaik dalam hidupku. Do’amu mungkin telah terkabul, karena aku telah merasa nyaman disini sekarang, Bersama semua orang-orang disekitarku.
Usiaku yang sebentar lagi menginjak kepala dua, tidak membuatku menjadi gadis mandiri. Aku masih cengeng dan manja, ayah. Seperti saat engkau mengantarku ke eSeMA baruku, juga saat kuliah. Memaksaku untuk pulang sekali dalam setiap semester. Bila rindu padamu, aku hana bisa berdo’a semoga engkau baik-baik saja ayah bersama ibu.
Mungkin beginilah cara Allah mendidikku menjadi gadis tegar. Tapi, sikapmu dan ibu yang mengharuskanku meminta izin, ketika keluar rumah. Ternyata banyak merepotkan teman-teman sekolahku. Aku menjadi tidak berani untuk pergi sendiri, kemana-mana harus ditemani. Tapi, ini mengajarkanku untuk selalu bersikap jujur dalam segala hal.
Aku juga tidak begitu akrab dengan orang baru disekitarku, rasa canggungku kadang terkesan keterlaluan. Mungkin karena rumah kita yang jaraknya cukup jauh dari rumah tetangga. Sehingga mungkin kesannya aku pemalu dengan orang baru. Tapi, itulah yang aku alamai ayah. Aku sulit membuka diri dengan orang baru, aku perlu mengenalnya lebih jauh.
Aku memang sulit berinteraksi dengan orang baru, seceria apapun dia – aku juga penceria. Namun, saat aku merasa nyaman dengan seseorang. Aku akan selalu merasa membutuhkannya. Sampai temanku bilang “kamu itu, dulu sangat pemalu. Sekarang malah malu-maluin”.
Mungkin aku memang terlahir untuk menjadi gadis penceria yang cengeng ayah. Entah bagaimana caramu mendidikku dulu. Tapi, aku menikmati itu. Karena itulah yang menjadi pengingatku untukmu. Bahwa engkau memiliki seorang gadis yang selalu membutuhkanmu, untuk menjaga dan melindungiku. Jauh darimu membuatku semakin rindu. Rindu rumah, rindu kampung, juga rindu pada bintang dilangit atap rumah kita.
Tidak perlu lagi kuminta do’amu. Cukup kuberitahukan saja, apa yang sedang kulakukan kini. Bila aku akan melalui suatu tes atau ujian. Karena saat kutanyakan dan ku minta do’amu dulu. Engkau menjawab dari telepon “do’a Ayah dan Ibu selalu menyertaimu, Nak”. Itu artinya cinta ayah dan ibu tak ernah aus oleh jarak dan waktu.
 Semakin bertambah rasa bersalahku, bila aku berani meminta lebih. Atas apa yang telah engkau cukupkan padaku selama ini, ayah.  Ridhomu adalah ridho Allah. Maka, ridhoilah apa-apa yang aku lakukan. Bila itu tidak engkau ridhoi, tegurlah aku – walau aku tahu, engkau akan menegurku tanpa kuminta. Karena sungguh itu tidak akan mendatangkan barakah padaku.
Maafkan aku yang belum bisa memenuhi segala permintaanmu, yang kadang bagiku masih sulit untuk ku penuhi saat ini secara utuh. Tahajjudku yang masih belum rutin, dhuha yang kadang masih ku tinggal, dan asmaul husna yang masih belum kuhapalkan. Juga tadarrusku yang sulit menamatkan 1 jus dalam sehari. Tapi, aku selalu berusaha shalat di awal waktu. Seperti katamu, “Sebaik-baik shalat adalah di awal waktu”.
Bagaimana mungkin, aku bisa tenang dalam menuntut ilmu. Bila aku masih jauh dari Robbku. “Jaga shalatmu, perhatikan belajarmu, Nak”, tak pernah engkau lupa mengatakan kata sakralmu itu padaku, setiap kali engkau menelpon. Hingga aku juga merasa ada yang kurang, bila kata itu belum engkau ingatkan padaku.
Ayah, aku mencintaimu. Aku tidak ingin engkau diseret ke neraka saat sudah berada dipintu surga. Hanya karena aku, anakmu yang kurang taat dalam beribadah dan mematuhi nasehatmu.
Do’akan aku, agar diberi kemudahan dalam beribadah pada-Nya. Agar aku bisa menjadi anak yang shalehah, ayah. Anak yang memiliki sedikit ilmu dengan secuil keimanan. Ayah, ku tulis ini dengan rindu yang tak bisa lagi kuungkap, ingin rasanya segera pulang. Menemuimu. Bercerita banyak kepadamu – walau ini bukan tentang lelaki lain, yang kelak akan menggantikanmu dalam menuntunku menggapai ridho-Nya.