Minggu, 13 April 2014

Mencipta Diri Sendiri




Baju satu
Kalau boleh memilih aku tidak ingin menjadi baju. Bebas dipakai oleh manusia dengan sesukanya. Dipilih dengan sekehendak hati, namun baju tidak bisa memilih majikannya. Belum lagi bentukku yang tidak jelas lengan dan kaki. Bangga pula designer melahirkanku dalam keadaan cacat seperti ini. Lengan tidak utuh, leher kesempitan, dengan kaki baju tepat ditas lutut majikan. Bila ia memasangkannya dengan rok tentu lebih baik, tapi lagi-lagi ia lebih suka menggunakanku sendiri. Apa indahnya.
Kalau boleh mengutuki, aku akan lebih banyak mengukuti yang melahirkanku. Tega nian dia melahirkanku bahkan memajang di etalase kaca dengan tampilan buntung lengan. Baiklah aku menyukai warna merah marunnya. Juga kain lembutku yang nyaman dan tidak melukai kulit majikan. Selebihnya tidak ada yang membuatku suka. Terlebih bila majikan menggunakanku dalam acara malam pada garden party. Itu acara pertama yang membuatku menyaksikan banyak teman-temanku bersama majikannya. Mereka sama menyedihkan denganku ditengah alunan musik, hingar bingar dan minuman beralkohol ditangan majikan.
Mereka mendongkol kepada majikannya. Tidak lagi peduli apa yang dilakukan sang majikan, bahkan saat angin menerpa ia tidak lagi berusaha melindungi kulit majikan. Membiarkan ia bergerak bersama angin. Terserah. Majikan pun tenang-tenang saja, kenapa aku yang lebih banyak memusingkannya. Ini bukan urusanku, ini urusan majikan dengan Sang Pencipta.

Baju Dua
Nasibku memang kurang beruntung. Dilahirkan dari pabrik yang tidak begitu terkenal. Hanya beberapa hari tergantung bersama ratusan baju yang lain, akhirnya tempatku beralih ke troli yang menumpuk banyak pakaian obral disana. Aku masih perawan dan lembut saat dikenakan. Belum pernah dijamah majikan. Warnaku juga indah, kuning soft. Entah siapa yang akan menjadi majikanku kelak. Tampilanku memang tidak layak untuk dipakai ke pesta, tapi setidaknya aku bisa berguna bila hanya ingin mengunjungi tetangga, ke pasar, atau bersantai di rumah. Lenganku utuh tanpa cacat apalagi buntung, dan hargaku juga tidak terlalu mahal.
Aku heran dengan manusia jaman sekarang. Lebih suka memakai baju buntung ketimbang baju normal tanpa cacat. Atau bila tidak cacat maka pasti baju itu sangat tipis dan transparan ditambah lagi ketat membungkus, hingga rasanya oksigen dibumi ini semakin berkurang. Lalu untuk apa mencipta dan memakai kaum kami kalau apa yang seharusnya kami tutupi terlihat semua. Belum lagi harganya yang selangit dan dipakai dengan bangga ke acara-acara yang tidak banyak ku pahami.
Baiklah, untuk tampilanku memang tidak layak untuk ke pesta atau acara-acara bergengsi. Tapi ini hanya aku. Ada jutaan temanku yang tidak buntung dan tidak pula transparan dan tentu saja dengan kuota oksigen lebih banyak, layak dipakai ke acara resmi. Aku yakin majikan yang menggunakannya akan tetap percaya diri, bahkan lebih yakin dengan penampilannya.
Tapi temanku yang bersosok sempurna seperti ini lebih banyak terpajang di toko tanpa ada majikan yang berminat memiliki. Menanti berbulan-bulan. Hingga ada tangan-tangan yang sekedar menyentuh dan merasakan kelembutan kainnya. Masalah harga tidak jauh berbeda dengan yang buntung. Lantas bila yang normal harganya hampir sama bahkan lebih murah ketimbang baju buntung, kenapa lebih memilih yang buntung. Sungguh aneh jaman ini.

Baju Tiga
Aku tidak begitu yakin ini keberuntungan atau musibah. Aku tahu dulu dibeli dengan harga mahal. Tentu karena aku dilahirkan sebagai jaket tebal yang hangat dan lembut. Tapi setelah bosan majikan menjualku dengan harga murah. Ditadah oleh penjual yang tak ku ketahui dan menjualku kembali ke sisi lain dunia ini dengan harga lebih mahal. Sungguh perjalanan melelahkan, bersama ribuan baju dengan nasib sama sepertiku. Bertumpuk dengan bau apek.
Setelah perjalanan dan proses jual beli, akhirnya aku kembali dipajang tentu bukan di etalase kaca. Hanya di pasar tua atau dipinggir jalan saat malam tiba. Bukan hanya baju yang dijual, ada pula temanku dari kaum selimut, tas, dan celana berbagai ukuran. Tapi dengan nasib serupa, bekas.
Aku dan semua kaum kain memang masih layak pakai, hanya saja majikan baru harus teliti saat membeli. Karena kadang ada kain yang berlubang, kancing terlepas, dan tentu saja aroma yang cukup menganggu pernafasan. Terlepas dari semua itu, harga kami lebih murah dan jangka waktu pemakaian hampir sama dengan yang masih perawan.
Untuk ke acara formal pun kami punya teman yang bersedia dijadikan kawan. Kawan yang mampu menutupi lebih banyak kulit, melindungi dari hembusan angin, dan tampilan tidak mengecewakan.

Baju-Baju
Aku bertemu dengan teman baru, dari tampilan sepertinya ia tidak dilahirkan oleh induk di daerahku. Tapi kami sama sempurnanya. Tidak buntung. Ternyata kami tidak hanya bisa saling sapa dari dalam kantong plastik masing-masing, kami dimasukkan ke dalam mesin pencuci yang sama. Pembicaraan kami semakin menyenangkan terkait kisah kelahiran kami hingga sampai ke majikan.
Tidak lama berselang, sebuah baju dimasukkan pula bersama kami yang tengah khusyuk bercerita. Tampilannya sangat menyedihkan, buntung lengan bahkan berbau alkohol. Tidak tega kami melihatnya menanggung derita sendiri. Kami bukan teman-teman kain yang egois. Jadilah kami saling membersamai.
Saat orang yang memasukkan kami ke dalam mesin telah menumpahkan detergen dan pewangi, perlahan kami berputar di dalam mesin. Teman baruku dari wilayah berbeda dengan tampilan yang tidak buntung sebagai jaket hangat. Segera menempelkan dirinya dibagian punggung si buntung dan menjadi lengan pula buatnya.
Sekilas tampak seperti busana seorang perempuan yang mengenakan jaket tebal diluar pakaian ‘indah’nya. Untuk lebih menguatkan ikatan, sigap saya melepaskan jahitan dan mengikatkan benang ke lengan antara si buntung dan si jaket. Bukan hanya lengan, bahkan bagian punggung pun saya rekatkan. Hingga benang-benang saya tak bersisa. Menyatu bersama sahabat terbaikku.
Tak peduli warna cairan dalam mesin pencuci telah berubah merah karena darah dari benang dan kulit kami. Setiap pilihan memiliki resiko, dan kami memilih melahirkan diri kami sendiri. Dengan bentuk lebih sempurna.


Terinspirasi dari tulisan Sapardi Djoko Damono