“Bagaimana mestinya aku berjuang,
sementara semangat milikku tak lagi mampu membawa kaki jauh meninggalkan rumah”.
Deraian air mata semula pelan,
semakin mengeras bersama jeritan tertahan diujung bibir. Mengalirkan perih pada
luka yang semakin menganga. Membawa pedih ke setiap saraf hati. Memudarkan
bahagia.
Aku tetap duduk termangu. Menatap
kosong keluar jendela. Menembus dinding waktu, mencari matahari. Berharap ada
secercah semangat menelusup dalam gelapnya jiwa. Menarik masa depan, menjadikan
lebih terang.
Rasa gusar kembali melingkupiku.
Tak dapat lagi ku bendung. Setiap detik adalah berang. Menguras tenaga melalui
air mata yang belum mengering. Melimpahkan kesalahan pada diriku, hanya aku
yang salah.
“Aku membencimu. Bencii..
benciii..!!” Pekikku berusaha menahan suara. Menelan semua luka. Menjadikan
tangis kembali pecah.
“Fina, Jangan terlalu dipikirkan
perkataan Ayahmu. Emosinya sedang buruk.”
“Maafkan Fina, Bu”
“Hari esok masih menantimu Nak,
menjadi Fina yang selalu semangat.”
Semangat, Sudah pergi
meninggalkanku. Entah kapan ia akan kembali, menyalurkan masa depan pada
sel-sel otakku. Menanggalkan titik hitam. Yang ku tahu tak mungkin bisa kembali
seperti sedia kala. Karena setiap luka akan menyisakan kenangan.
Sama seperti luka yang kau
tinggalkan untukku. Membiarkan aku sendiri, meratapi cedera. Aku tidak
membutuhkan sesuatupun, cukup beradalah disisiku. Aku hanya butuh satu, yaitu
kamu.
Kesakitan ayah, menghasilkan kata
yang tak pernah bersua dengan pendengaranku sebelumnya. Bukan hanya satu, ada
banyak kata bahkan kalimat yang semakin menjadikanku merana. Terlebih karena
kau tidak lagi disini bersamaku.
Bukan karena benci sehingga ucapan
ayah begitu menyempitkan dada. Menghalangi udara masuk ke paru-paru. Tapi
karena rasa sayang dan kepercayaan yang terlalu besar. Hingga kenyataan
menampakkan diri dalam bentuk sebaliknya. Menghasilkan kecewa dan luka juga
pada dirinya. Hingga ia memutuskan diam.
Entah sampai kapan, luka dalam
diriku memulih. Menghasilkan keropeng yang segera mengering. Menutup luka
dengan bekas luas diatasnya. Bekas itu tak lagi menjadi soal penting. Asalkan
aku kuasa untuk berbenah diri lebih sering.
Aku sedang merintih karena
sakitku. Tapi, Kota Daeng dengan lalu lalang penghuni buminya – pejalan kaki,
mobil, motor saling mengejar. Ingin segera tiba di rumah mereka. Menjadikan
jalan raya semakin riuh, karena kebisingan suara kendaraan. Disertai teriakan
supir menyebutkan tujuan pete-pete mereka. Juga anak-anak usia sekolah yang
dibiarkan berada dijalan, dengan buku-buku jualan lusuh ditangannya.