Selasa, 13 November 2012

Pahlawan, Bukan Aku


“Bagaimana mestinya aku berjuang, sementara semangat milikku tak lagi mampu membawa kaki jauh meninggalkan rumah”.
Deraian air mata semula pelan, semakin mengeras bersama jeritan tertahan diujung bibir. Mengalirkan perih pada luka yang semakin menganga. Membawa pedih ke setiap saraf hati. Memudarkan bahagia.
Aku tetap duduk termangu. Menatap kosong keluar jendela. Menembus dinding waktu, mencari matahari. Berharap ada secercah semangat menelusup dalam gelapnya jiwa. Menarik masa depan, menjadikan lebih terang.
Rasa gusar kembali melingkupiku. Tak dapat lagi ku bendung. Setiap detik adalah berang. Menguras tenaga melalui air mata yang belum mengering. Melimpahkan kesalahan pada diriku, hanya aku yang salah.
“Aku membencimu. Bencii.. benciii..!!” Pekikku berusaha menahan suara. Menelan semua luka. Menjadikan tangis kembali pecah.
“Fina, Jangan terlalu dipikirkan perkataan Ayahmu. Emosinya sedang buruk.”
“Maafkan Fina, Bu”
“Hari esok masih menantimu Nak, menjadi Fina yang selalu semangat.”
Semangat, Sudah pergi meninggalkanku. Entah kapan ia akan kembali, menyalurkan masa depan pada sel-sel otakku. Menanggalkan titik hitam. Yang ku tahu tak mungkin bisa kembali seperti sedia kala. Karena setiap luka akan menyisakan kenangan.
Sama seperti luka yang kau tinggalkan untukku. Membiarkan aku sendiri, meratapi cedera. Aku tidak membutuhkan sesuatupun, cukup beradalah disisiku. Aku hanya butuh satu, yaitu kamu.
Kesakitan ayah, menghasilkan kata yang tak pernah bersua dengan pendengaranku sebelumnya. Bukan hanya satu, ada banyak kata bahkan kalimat yang semakin menjadikanku merana. Terlebih karena kau tidak lagi disini bersamaku.
Bukan karena benci sehingga ucapan ayah begitu menyempitkan dada. Menghalangi udara masuk ke paru-paru. Tapi karena rasa sayang dan kepercayaan yang terlalu besar. Hingga kenyataan menampakkan diri dalam bentuk sebaliknya. Menghasilkan kecewa dan luka juga pada dirinya. Hingga ia memutuskan diam.
Entah sampai kapan, luka dalam diriku memulih. Menghasilkan keropeng yang segera mengering. Menutup luka dengan bekas luas diatasnya. Bekas itu tak lagi menjadi soal penting. Asalkan aku kuasa untuk berbenah diri lebih sering.
Aku sedang merintih karena sakitku. Tapi, Kota Daeng dengan lalu lalang penghuni buminya – pejalan kaki, mobil, motor saling mengejar. Ingin segera tiba di rumah mereka. Menjadikan jalan raya semakin riuh, karena kebisingan suara kendaraan. Disertai teriakan supir menyebutkan tujuan pete-pete mereka. Juga anak-anak usia sekolah yang dibiarkan berada dijalan, dengan buku-buku jualan lusuh ditangannya.

Tanganku erat melekat pada bingkai jendela. Tak kuasa beranjak dari pemandangan ini. Dengan sinar matahari mulai menghiasi kaki langit. Perih menyayat hati, melihat anak-anak sekecil itu. Harus menanggung beban dewasa diusia bermainnya. Menambah perih lukaku sendiri. Seharusnya aku ada disana. Menghalau sedikit sakit mereka. Tapi, deritaku kini telah menenggelamkanku.
Aku masih muda. Gelar sarjana mungkin tahun depan akan ku raih. Setidaknya masih ada waktu setahun untuk merapikan yang bisa. Lantas apa yang bisa aku perbuat dalam waktu sesingkat ini. Aku bukan pemuda yang menjadi pahlawan seperti masa lalu. Memperjuangkan kemerdekaan Negara. Aku hidup di masa depan, penuh kemudahan.
Tidak ada lagi senjata, bambu runcing, bahkan bom tak kutemukan lagi. Karena hari ini perjuangan pahlawan bukan lagi untuk memiliki Negara. Tapi memiliki rakyat yang kuat dan sehat. Seharusnya aku berada dalam lingkaran orang-orang yang mencintai negara, bukan meninggalkan derita bangsa ini. Menganggap luka mereka hanya dongeng yang diberitakan televisi. Atau bahkan tak pernah lagi diberitakan.
Setiap hal ku dapatkan secara cepat dan mudah. Tanpa perlu bersusah payah. Aku tidak pernah merasakan sulitnya menjadi masyarakat yang hidup di daerah terpencil. Untuk memenuhi kebutuhan pokok pun sulit. Hingga menjadikan anak-anak kecil yang manis, menderita kekurangan gizi.
Sementara disisi lain kota maritim, anak-anak mendapatkan menderita gizi lebih. Dua sisi masalah kota yang sangat bertolak belakang. Secara bersamaan menunggu untuk diselesaikan. Entah dari sisi mana pahlawan akan datang dan menuntaskan persoalan pelik ini.
Aku. Tentu bukan aku pahlawan itu. Aku telah menanggalkan terlalu banyak kewajiban sebelum melaksanakan. Memberi cedera pada hidupku, melahirkan luka pada kedua orang tuaku. Menghalau semangat perjuangan yang selama ini ku kobarkan. Menyesali diriku yang terlalu mudah percaya orang lain.
Peristiwa setahun lalu kembali muncul dalam pikiranku.  Menambah deras cucuran air mata. Penyesalan mendalam melingkupiku, mengapa dengan mudahnya aku memberikan segala yang aku miliki padamu. Kepada seseorang yang tak pernah lagi ku ketahui kabarnya.
Kejadian malam itu, selalu menghantui sadar dan lelapku. Kamu tak pernah tahu bagaimana hancurnya ayah, tapi ampunan dari ibu tetap menyemangatiku. Tak pernah ada tangis di wajah ibu saat bersamaku. Walau dalam shalat malamnya, aku tahu ibu merintih kepada Tuhan-Nya.
Sudah setahun berlalu, aku belum juga mampu meninggalkan sedikit saja kekhawatiranku. Begitu banyak ketakutan yang menyerang langkahku. Aku ingin berbuat sedikit untuk negeriku. Menyehatkan bangsa ini, menghidupkan semangat murni dalam diri anak-anak. Namun, aku belum mampu. Kini.
Matahari sudah sangat merindukan malam. Sebentar lagi ia akan benar-benar kehilangan sinar yang menyilaukan. Dengan langkah gontai aku meninggalkan jendela, menghampiri bayiku yang menangis. Menggendongnya dengan belaian lembut di ubun-ubun.
Ibulah yang berbesar hati merawat kehamilanku, menjaga cucunya setelah kelahiran. Dalam diam sikap ayah.
_membangun semangat, ditengah rapuhnya hati setiap pemuda_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar