Kamis, 27 Maret 2014

Menemui Tere Liye




Sebelumnya saya tidak pernah betul-betul menemui Tere Liye melalui tulisan-tulisannya. Saya mulai menemuinya melalui ‘Moga Bunda di sayang Allah’. Bahkan saya tidak begitu yakin ini tulisannya yang ke berapa. Lebih parah lagi saya termasuk dalam deretan orang yang mengira bahwa Tere Liye adalah wanita!
Bukan tidak beralasan. Karena tulisan yang diciptanya sangat mengaduk perasaan dan terlalu menyentuh. Sungguh sastra mampu melembutkan hati yang kasar dan semakin melembutkan hati yang telah lembut. Namun bukan tanpa kekuatan.
Setelah menamatkan buku pertama yang saya baca, bermunculanlah banyak buku-bukunya di berbagai toko buku. Mungkin karena aku yang sudah terlalu lama tidak menginjakkan kaki ke toko buku. Terpajanglah serial anak-anak mamak – sementara Burlian, Pukat, dan Eliana. tidak ketinggalan 'bidadari-bidadari surga' juga 'hapalan shalat Dhelisa'. Saya membelinya? tentu tidak.
Buku ‘moga bunda di sayang Allah’ pun bukan milikku, salah seorang teman meminjamkannya. Saya tidak membaca serial anak-anak mamak, bukan karena apa-apa. Hanya saja sangat sedikit teman yang memilikinya. Kalaupun ada yang memiliki entah saya ada diurutan keberapa dalam daftar peminjamnya.
Pada akhir tahun 2013, lebih tepatnya bulan berapa aku lupa. Sedang tidak berminat menengok kalender saat menuliskan ini. Organisasi yang saya geluti, mengikuti lomba tentang lingkungan yang diadakan salah satu Koran terbesar di Indonesia bekerjasama dengan sebuah produsen alat dapur dan makan yang banyak diminati ibu-ibu saat ini. Nah, organisasiku ikut berpartisipasi dalam lomba nasional tersebut. Tidak pernah terbayangkan kami lolos masuk 10 besar yang diwajibkan untuk mengadakan acara tersebut di kota kami – Makassar.
Persiapan yang tidak begitu maksimal. Waktu semakin memburu, menjadikan kami harus melakukan segalanya lebih cepat. Mulai dari rapat terkait acara, lokasi kegiatan, para tetamu, publikasi dan banyak hal lain yang kami persiapkan tentu dengan bantuan besar dari pihak penyelenggara lomba – termasuk dana kegiatan yang cukup besar nilainya.
Salah satu agenda acara kami menghadirkan Tere Liye. Beliau mengaku ini adalah acara kepenulisan pertama yang membawanya ke Makassar. Senang tentu melingkupi kami. Juga aku, aku untuk pertama kalinya menyaksikan tere Liye dengan segala kesederhanaannya. Sekaligus menyadarkan diriku sendiri bahwa Tere Liye bukan wanita. Peserta? sangat banyak yang mengagumi kata yang dilahirkannya. Sayapun menyukai tulisannya. Berebut peserta meminta tanda tangan di buku mereka yang sengaja dibawa ke acara. Saya? Tentu tidak meminta tanda tangan karena memang saya tidak memiliki bukunya. Tak satupun.
Saya lebih senang membaca buah pikiran Tere Liye lantas menyimpannya dalam ingatanku, mengutip beberapa paragraph yang senang untuk aku baca kembali. Ada banyak paragraph penuh hikmah. Dalam sebuah bukunya yang aku tamatkan. Namun, untuk membeli bukunya aku belum terpikirkan.
Tak lama berselang, muncullah buku Tere Liye yang lain – sunset bersama rosie, kau aku dan sepucuk angpau merah, sekeping hati yang baru. Saya membaca ketiganya. Namun, tetap tidak membelinya. Saya selalu ingin menemui Tere Liye lewat tulisannya namun tidak berniat memiliki tulisannya. Salah satu alasan karena sudah terlalu banyak orang dekatku yang mengagumi tulisan-tulisanya. Sungguh ini alasan terbesarku.
‘Negeri para bedebah’ juga telah aku telusuri, begitupun dengan ‘Negeri di ujung tanduk’. Namun sama seperti tulisannya yang lain. Aku membacanya lantas mencatat di notebook yang menurutku perlu untuk aku ingat kembali. Lantas mengembalikan buku tersebut kepada pemiliknya.
Pada akhirnya, aku membaca lagi buah pikiran, harapan, dan jiwa Tere Liye. Melalui bukunya ‘Rembulan tenggelam di wajahmu’. Ini buku pertama yang membuatku tidak puas hanya menemui Tere Liye dalam ingatanku setelah menuntaskan tulisannya. Aku ingin memiliki buku ini. Aku jatuh cinta pada buku ini. Lebih dalam. Tak tahu lagi aku caranya menyimpan ingatan lebih lama. Tanpa memilikinya di rak buku pribadiku.
Semoga Tere Liye terus saja mampu memberikan inspirasi, harapan masa depan, dan pemaknaan hidup yang lebih positif, serta penuh kebaikan. Pada setiap anak bangsa. Melalui tulisan-tulisannya. Menjadikan tulisan ini salah satu pemberat timbangan amal kebaikannya kelak. Aamiin. Salam pena.