Sebelumnya saya
tidak pernah betul-betul menemui Tere Liye melalui tulisan-tulisannya. Saya mulai
menemuinya melalui ‘Moga Bunda di sayang Allah’. Bahkan saya tidak begitu yakin
ini tulisannya yang ke berapa. Lebih parah lagi saya termasuk dalam deretan
orang yang mengira bahwa Tere Liye adalah wanita!
Bukan tidak
beralasan. Karena tulisan yang diciptanya sangat mengaduk perasaan dan terlalu
menyentuh. Sungguh sastra mampu melembutkan hati yang kasar dan semakin
melembutkan hati yang telah lembut. Namun bukan tanpa kekuatan.
Setelah menamatkan
buku pertama yang saya baca, bermunculanlah banyak buku-bukunya di berbagai toko
buku. Mungkin karena aku yang sudah terlalu lama tidak menginjakkan kaki ke toko
buku. Terpajanglah serial anak-anak mamak – sementara Burlian, Pukat, dan
Eliana. tidak ketinggalan 'bidadari-bidadari surga' juga 'hapalan shalat Dhelisa'. Saya membelinya? tentu tidak.
Buku ‘moga
bunda di sayang Allah’ pun bukan milikku, salah seorang teman meminjamkannya. Saya
tidak membaca serial anak-anak mamak, bukan karena apa-apa. Hanya saja sangat
sedikit teman yang memilikinya. Kalaupun ada yang memiliki entah saya ada
diurutan keberapa dalam daftar peminjamnya.
Pada akhir
tahun 2013, lebih tepatnya bulan berapa aku lupa. Sedang tidak berminat
menengok kalender saat menuliskan ini. Organisasi yang saya geluti, mengikuti
lomba tentang lingkungan yang diadakan salah satu Koran terbesar di Indonesia
bekerjasama dengan sebuah produsen alat dapur dan makan yang banyak diminati
ibu-ibu saat ini. Nah, organisasiku ikut berpartisipasi dalam lomba nasional tersebut. Tidak
pernah terbayangkan kami lolos masuk 10 besar yang diwajibkan untuk mengadakan
acara tersebut di kota kami – Makassar.
Persiapan yang
tidak begitu maksimal. Waktu semakin memburu, menjadikan kami harus melakukan
segalanya lebih cepat. Mulai dari rapat terkait acara, lokasi kegiatan, para
tetamu, publikasi dan banyak hal lain yang kami persiapkan tentu dengan bantuan
besar dari pihak penyelenggara lomba – termasuk dana kegiatan yang cukup besar
nilainya.
Salah satu
agenda acara kami menghadirkan Tere Liye. Beliau mengaku ini adalah acara
kepenulisan pertama yang membawanya ke Makassar. Senang tentu melingkupi kami. Juga
aku, aku untuk pertama kalinya menyaksikan tere Liye dengan segala
kesederhanaannya. Sekaligus menyadarkan diriku sendiri bahwa Tere Liye bukan
wanita. Peserta? sangat banyak yang mengagumi kata yang dilahirkannya. Sayapun menyukai
tulisannya. Berebut peserta meminta tanda tangan di buku mereka yang sengaja
dibawa ke acara. Saya? Tentu tidak meminta tanda tangan karena memang saya
tidak memiliki bukunya. Tak satupun.
Saya lebih
senang membaca buah pikiran Tere Liye lantas menyimpannya dalam ingatanku,
mengutip beberapa paragraph yang senang untuk aku baca kembali. Ada banyak paragraph
penuh hikmah. Dalam sebuah bukunya yang aku tamatkan. Namun, untuk membeli
bukunya aku belum terpikirkan.
Tak lama
berselang, muncullah buku Tere Liye yang lain – sunset bersama rosie, kau aku
dan sepucuk angpau merah, sekeping hati yang baru. Saya membaca ketiganya. Namun,
tetap tidak membelinya. Saya selalu ingin menemui Tere Liye lewat tulisannya
namun tidak berniat memiliki tulisannya. Salah satu alasan karena sudah terlalu
banyak orang dekatku yang mengagumi tulisan-tulisanya. Sungguh ini alasan terbesarku.
‘Negeri para
bedebah’ juga telah aku telusuri, begitupun dengan ‘Negeri di ujung tanduk’. Namun
sama seperti tulisannya yang lain. Aku membacanya lantas mencatat di notebook yang menurutku perlu untuk aku ingat kembali. Lantas mengembalikan buku tersebut kepada pemiliknya.
Pada akhirnya,
aku membaca lagi buah pikiran, harapan, dan jiwa Tere Liye. Melalui bukunya ‘Rembulan
tenggelam di wajahmu’. Ini buku pertama yang membuatku tidak puas hanya menemui
Tere Liye dalam ingatanku setelah menuntaskan tulisannya. Aku ingin memiliki
buku ini. Aku jatuh cinta pada buku ini. Lebih dalam. Tak tahu lagi aku caranya
menyimpan ingatan lebih lama. Tanpa memilikinya di rak buku pribadiku.
Semoga Tere Liye
terus saja mampu memberikan inspirasi, harapan masa depan, dan pemaknaan hidup
yang lebih positif, serta penuh kebaikan. Pada setiap anak bangsa. Melalui tulisan-tulisannya.
Menjadikan tulisan ini salah satu pemberat timbangan amal kebaikannya kelak. Aamiin. Salam
pena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar