Selasa, 28 Januari 2014

Cinta adalah Mama


Sudah dua puluh tahun. Menginjak dua puluh satu. Belumlah saya bisa memberi lebih banyak manfaat kepada Mama. Masih saja sering merengek dan marah atas keputusan yang telah dipikirkan matang untukku. Bersyukur Ayah menjadi penetralisir dengan tutur lembut penuh kepahaman. Ayah selalu lebih bisa memahamiku. Itu pikirku selama beberapa tahun.
Membiarkannya begitu. Sampai waktu melahirkan lebih banyak kesadaran padaku. Betapa saya membutuhkan Mama. Seberapapun seringnya saya mengingkari, namun jauh didalam diriku saya butuh Mama. Bersama dekapan hangat mendamaikan yang selalu menjadi tempat kembali. Penuh rindu. Tanpa beban. Bahkan seusia inipun saya masih butuh pelukan hangat mama. Selalu.
Perbincangan-perbincangan ringan yang baru menghitung bulan dalam suhu sejuk antara Mama dan seorang gadis bukan lagi sebagai anak kecilnya yang egois, menjadikan jarak tak lagi renggang, membuatku sedikit banyak memahami Mama. Mulai dari pakaian yang dipercayakannya padaku untuk membeli, walau setelah sampai padanya ada yang kebesaran. ‘bajunya kebesaran Nak, tapi akan tetap saya pakai’. Itu saja kalimatnya.
Mama memang bukan tipe orang yang gamblang dalam mengungkapkan rasa sayangnya. Menutupi sakit dan tampak tegar saja saat dihadapan kami. Bahkan jengkel pun diredakannya dalam diam. Dan saya salah satu penyebab terbesar kejengkelannya. Dulu – saat saya bertumbuh bersama adikku. Saya sungguh super menyebalkan dan saat dimarahi langsung nangis. Menyebalkan bukan?
Namun begitulah cinta. Mama dengan segala kesabarannya mendampingiku. Walau tetap saja ada rasa cemburu karena kepedulian yang lebih besar Mama diberikan kepada adikku. Dengan kesan yang seolah menggambarkan saya anak Ayah dan Ari anak Mama. Itu dulu.
Setelah mendamai waktu, dengan jarak terbentang luas antara saya yang di Makassar, adikku di kampung, Ayah dan Mama di Mamuju. Pertemuan yang hanya sekali dalam setahun, saling berkirim kabar lewat telpon. Dan tentu saja Mama yang hampir setiap hari menelponku. Berbeda dengan adikku yang kadang lebih dulu menelpon Mama atau Ayah.
Mengenai pakaian Mama yang kebesaran, saya minta maaf. ‘maafkan anakmu Ma’. Mengira postur tubuh Mama masih sesegar dan seberisi dulu. Perlahan penyakit diabetes yang diturunkan dari nenek semakin tampak juga pada Mama. Mungkin kelak juga padaku. Hingga menjaga pola makan adalah pilihan bijak bagiku.
Mama yang memilih-milih makanan hanya saat penyakitnya kambuh dan menyantap semaunya bila merasa kondisi tubuhnya sedang baik saja. ‘saya mau makan apa lagi kalau semua makanan dihindari Nak?’. Glek. Pada akhirnya harus menemui dokter lagi, rumah sakit lagi, infus lagi, obat lagi untuk memulihkannya. ‘Saya capek minum obat Nak’, begitu katanya suatu ketika di telpon.
Tuhan. Apa yang harus saya lakukan. Mengingatkan Mama untuk menjaga konsumsi makanan dan pola makannya tidak selalu berhasil. Apa gunanya saya disekolahkan tinggi-tinggi sebagai ahli gizi bila untuk menyehatkan kedua orang terkasih dan berarti dalam hidupku saja saya belum mampu. Sungguh sangat menyesakkan. Saya merasa menjadi manusia paling merugi dan kehilangan manfaat.
Maafkan anakmu ini Ma. Mohon doakan – aku tahu segala doa telah Mama rapalkan rutin untukku tanpa aku minta sekalipun – semoga kemudahan dalam menuntut ilmu diberikan Allah SWT kepada kami anak-anakmu dan setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam meraih ridho-Nya. Menjadikannya pemberat timbangan kebaikan diyaumul akhir kelak. Semoga kita sama-sama diberi umur yang panjang dengan sebaik-baik penggunaannya. Juga  keistiqomahan dalam menjaga kesehatan demi sebaik-baiknya ibadah. Hingga Ayah dan Mama bisa merasakan kesuksesan kami, menyaksikan cucu-cucu Mama dan Ayah lahir, bertumbuh, berproses dalam kehidupan dengan sebaik-baik proses hingga dewasa dan berkeluarga dalam keberkahan cinta. Yang diturunkan dari kakek dan neneknya. Selalu mencintai Mama. Juga Ayah dengan nasehat rutinnya setiap menelpon, ‘jaga shalatmu Nak, perhatikan pelajaranmu, dan dzikrullah’.
Terima kasih Rabb atas segala nikmat-Mu yang tak terhingga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar