Sudah dua puluh tahun. Menginjak dua
puluh satu. Belumlah saya bisa memberi lebih banyak manfaat kepada Mama. Masih saja
sering merengek dan marah atas keputusan yang telah dipikirkan matang untukku. Bersyukur
Ayah menjadi penetralisir dengan tutur lembut penuh kepahaman. Ayah selalu
lebih bisa memahamiku. Itu pikirku selama beberapa tahun.
Membiarkannya begitu. Sampai waktu
melahirkan lebih banyak kesadaran padaku. Betapa saya membutuhkan Mama. Seberapapun
seringnya saya mengingkari, namun jauh didalam diriku saya butuh Mama. Bersama dekapan
hangat mendamaikan yang selalu menjadi tempat kembali. Penuh rindu. Tanpa beban.
Bahkan seusia inipun saya masih butuh pelukan hangat mama. Selalu.
Perbincangan-perbincangan ringan
yang baru menghitung bulan dalam suhu sejuk antara Mama dan seorang gadis bukan
lagi sebagai anak kecilnya yang egois, menjadikan jarak tak lagi renggang, membuatku
sedikit banyak memahami Mama. Mulai dari pakaian yang dipercayakannya padaku
untuk membeli, walau setelah sampai padanya ada yang kebesaran. ‘bajunya
kebesaran Nak, tapi akan tetap saya pakai’. Itu saja kalimatnya.
Mama memang bukan tipe orang yang gamblang
dalam mengungkapkan rasa sayangnya. Menutupi sakit dan tampak tegar saja saat
dihadapan kami. Bahkan jengkel pun diredakannya dalam diam. Dan saya salah satu
penyebab terbesar kejengkelannya. Dulu – saat saya bertumbuh bersama adikku. Saya
sungguh super menyebalkan dan saat dimarahi langsung nangis. Menyebalkan bukan?
Namun begitulah cinta. Mama dengan
segala kesabarannya mendampingiku. Walau tetap saja ada rasa cemburu karena
kepedulian yang lebih besar Mama diberikan kepada adikku. Dengan kesan yang seolah
menggambarkan saya anak Ayah dan Ari anak Mama. Itu dulu.
Setelah mendamai waktu, dengan jarak
terbentang luas antara saya yang di Makassar, adikku di kampung, Ayah dan Mama
di Mamuju. Pertemuan yang hanya sekali dalam setahun, saling berkirim kabar lewat
telpon. Dan tentu saja Mama yang hampir setiap hari menelponku. Berbeda dengan
adikku yang kadang lebih dulu menelpon Mama atau Ayah.
Mengenai pakaian Mama yang
kebesaran, saya minta maaf. ‘maafkan anakmu Ma’. Mengira postur tubuh Mama
masih sesegar dan seberisi dulu. Perlahan penyakit diabetes yang diturunkan
dari nenek semakin tampak juga pada Mama. Mungkin kelak juga padaku. Hingga menjaga
pola makan adalah pilihan bijak bagiku.
Mama yang memilih-milih makanan
hanya saat penyakitnya kambuh dan menyantap semaunya bila merasa kondisi
tubuhnya sedang baik saja. ‘saya mau makan apa lagi kalau semua makanan
dihindari Nak?’. Glek. Pada akhirnya
harus menemui dokter lagi, rumah sakit lagi, infus lagi, obat lagi untuk
memulihkannya. ‘Saya capek minum obat Nak’, begitu katanya suatu ketika di
telpon.
Tuhan. Apa yang harus saya lakukan.
Mengingatkan Mama untuk menjaga konsumsi makanan dan pola makannya tidak selalu
berhasil. Apa gunanya saya disekolahkan tinggi-tinggi sebagai ahli gizi bila
untuk menyehatkan kedua orang terkasih dan berarti dalam hidupku saja saya
belum mampu. Sungguh sangat menyesakkan. Saya merasa menjadi manusia paling
merugi dan kehilangan manfaat.
Maafkan anakmu ini Ma. Mohon doakan
– aku tahu segala doa telah Mama rapalkan rutin untukku tanpa aku minta
sekalipun – semoga kemudahan dalam menuntut ilmu diberikan Allah SWT kepada
kami anak-anakmu dan setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam meraih
ridho-Nya. Menjadikannya pemberat timbangan kebaikan diyaumul akhir kelak. Semoga
kita sama-sama diberi umur yang panjang dengan sebaik-baik penggunaannya. Juga keistiqomahan dalam menjaga kesehatan demi
sebaik-baiknya ibadah. Hingga Ayah dan Mama bisa merasakan kesuksesan kami,
menyaksikan cucu-cucu Mama dan Ayah lahir, bertumbuh, berproses dalam kehidupan
dengan sebaik-baik proses hingga dewasa dan berkeluarga dalam keberkahan cinta.
Yang diturunkan dari kakek dan neneknya. Selalu mencintai Mama. Juga Ayah
dengan nasehat rutinnya setiap menelpon, ‘jaga shalatmu Nak, perhatikan
pelajaranmu, dan dzikrullah’.
Terima kasih Rabb atas segala
nikmat-Mu yang tak terhingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar