Sabtu, 14 Desember 2013

Nyanyian Langit




Ribuan tetes air berjatuhan dari langit, teratur dengan ritme dan irama yang merdu. Menghasilkan lagu langit yang mampu dirasakan dan disambut baik oleh bumi. Cahaya lampu jalan juga ikut memeriahkan, menciptakan warna pada kanvas malam yang membuat setiap jiwa mampu melihat lebih jelas setiap tetes hujan yang menjumpai Bumi, melalui malam.

Karena saat terbaik untuk mengenal hujan adalah menemuinya pada malam, dengan bantuan cahaya lampu. Maka setiap tetesnya seakan berbicara, bersenandung merdu. Indah. Dalam. Padamu.

Ternyata bukan hanya aku yang menikmati nyanyian langit, seorang bapak separuh baya juga melepas rindu padanya. Hanya berdiri diam, dibawah atap. Menyaksikan aliran air yang sampai pada tanah dengan nyanyian yang kadang terdengar lebih nyaring dan sesekali melembut.

tidak, masih ada lagi yang begitu bahagia menyambut tetesan teratur dari langit, beberapa anak kecil dengan payung terbuka lebar di tangannya. Menjajakan ojek payung pada setiap orang yang tidak sepenuhnya ingin bersua dengan hadiah dari langit. Tawa riang menyelimuti menambah indah nyanyian langit. Bukan semata karena ada orang yang ingin membantunya memegang payung hingga seberang jalan dengan upah sekedarnya, terlebih karena mereka bisa dengan bebas berbasah-basahan tanpa khawatir mendapat omelan dari ibu.

Aku tahu kamu juga mencintai hujan, tapi tak lebih banyak dibanding aku mencintainya. Itu menurut egoisku. Aku bisa lebih banyak bercerita dengan suara yang sedikit lebih keras dari biasanya tanpa peduli akan ada orang yang tahu. Karena suara dari hujan yang menjumpai bumi masih lebih keras. Aku senang bisa menari bersama ribuan tetes hadiah dari langit, meluapkan segala penat. Bahkan aku selalu berdecak kagum menyaksikan trembesi dengan warna lebih segar setelah hujan berlalu, menyisakan aroma kesejukan saat berada dibawah pohonnya. Damai.

Tapi satu hal yang aku yakini, kamu dan aku sepakat dengan taraf yang sama bahwa hujan adalah rahmat dari Allah, menyuburkan tanah dengannya hingga mampu menumbuhkan banyak jenis tumbuh-tumbuhan terbaik pada setiap sisi bumi. Memberi harapan kehidupan pada setiap makhluk. Hingga bersyukur adalah hal pertama yang seharusnya terlintas untuk menyambut tetesan lembut yang kadang juga sedikit keras memberi terapi pijat pada kulit wajah. Nikmatilah. seperti saat merasakan lezatnya buah-buahan dari tumbuhan yang menyerap nutrisi terbaik dari tanah. Bermanfaat.

Sabtu, 02 November 2013

Mendamai Waktu




Semakin hari. Waktu kian mendekati ujungnya.
Walau kadang kesadaran padanya tak selamanya sadar. Menjadikan kisah dalam pelukan hari berlalu dengan sepi. Tanpa hangat perjuangan.

Tak setiap jiwa mengalami hal serupa.
Namun, akulah salah satu yang mengalaminya.
Menjemput hari. Melaluinya sepertinya kemarin. Lantas menutup hari dengan biasa.
Tanpa permohonan maaf atau pemberian maaf kepada orang lain, meski dalam kesendirian. Menjelang lelap.

Jenuh dengan waktu.
Yang setiap hari berlalu dengan cara biasa. Penuh penantian, pengharapan dan belas kasih orang lain.
Hingga semangat seakan telah lama kering dalam diriku. Hampa.

Tidak ada pembalasan atas setiap budi tulus orang tua.
Bahkan untuk memastikan setiap suap makanan masuk ke dalam perut masih sepenuhnya atas andil besar orang tua.
kapan waktu ingin berdamai?
Memberikan beberapa tetes air peluang bagi jiwa yang telah kering semangatnya.
Sampai ia kembali bertumbuh, menghijaukan masa muda, menghasilkan buah kreatifitas dengan rasa manis atas perjuangan dari usaha terbaik.

Bukan lagi saatnya berkeluh.
Masa perjuangan belumlah berakhir.
Bukan perjangan untuk siapa-siapa, hanya untuk dirimu sendiri.
Perjuangan untuk berdamai dengan dirimu.
Karena hidup ini akan menjadikan waktu semakin terbuang percuma, saat kamu memilih kalah.
Sementara amanah telah terpikul sejak awal. Karena kamu memiliki kemampuan.
Maka berjuanglah.
Untuk dirimu sendiri. Berhenti memaksa orang lain berjuang untuk dirimu.
Maka perjuangkan sendirilah hidupmu. Bersama waktumu.

#New Me!

Selasa, 10 September 2013

(memberi) Tawa Tulus


Aku tergelak.
kamu tertawa.
kita berbahak. bersama.

mungkin ini dusta.
atau sedikit kejujuran saja.

walau aku berusaha menikmatinya.
dalam bathin aku tetap ringkih.
hanya karena semua terjadi sebgitu cepat.

aku berharap semua ini murni.
tulus.
dari dirimu. juga diriku.
demi kedekatan hangat. tanpa lilin.

Jumat, 15 Maret 2013

Menjadi (Lebih) Dewasa



Terima kasih
Untuk setiap kepahaman yang setia dihadiahkan untukku.
Meluangkan hati dalam segala luka yang aku berikan.
Menerimaku kembali walau ego masih lebih banyak melingkupiku.
Pertengkaran kecil yang esok akan aku lupakan. Selalu.
Tapi mungkin tidak selalu bagimu.
Menjadikan jalinan kedekatan ini kadang sedikit menegang atau terlalu kendur.

Maaf.
Untuk setiap luka yang aku berikan.
Tanpa aku pernah betul-betul menyadari, kalau itu akan banyak menyakiti.
Pikiran negatif masih lebih banyak mewarnaiku.
Menjadikan setitik kesal berubah lautan dalam sekali bersua.

Maaf.
Aku memang banyak menyimpan kesal.
Menerka-nerka dalam pikiranku sendiri.
Lalu meyakininya.
Hingga meluapkan banyak marah disana sini.

Aku.
Kini telah dua puluh.
Semoga malaikat ikut mengamini.
Bahwa aku ingin menjadi makhluk dengan sejuta manfaat.
Untuk alam, Indonesia, kalian, dan islamku.

Tidak ada lagi persangkaan.
Memudarkan ego.
Keluasan hati, kebesaran jiwa.
Lebih banyak memahami. Mendegar. Merasa. Memiliki.

Karena dua puluh adalah pintu.
Pintu dengan gembok kedewasaan. kunci kebijakan.
Agar kelapangan kisah mampu tergambar sempurna.
Bersama waktu yang kian menipis.
 

Rabu, 13 Maret 2013

Nutrisi Terbaik Untuk Sela


http://selaluberprestasi.files.wordpress.com/2012/05/sayur-dan-buah.jpg

Aku tahu. Sangat paham. Bahwa seutuhnya kamu tidak pernah memahamiku. Setiap isyarat yang aku kirimkan tak pernah betul-betul kamu pedulikan.
Aku ingin hidup dengan tenang. Tanpa ada kerusakan dalam diriku. Walau aku sadar yang kamu berikan padaku lebih banyak sakit. Luka. Dan aku semakin rapuh. Entah kamu yang terlalu membutuhkanku ataukah aku yang terlanjur tak bisa lepas dari dirimu. Badi. Aku. Aku ingin selalu membersamaimu.
Aku masih ingat, siang dengan teriknya. Menggugahmu untuk duduk pada sebuah kursi dalam ruangan berpendingin. Menikmati sejuknya. Bersama sebuah botol yang juga berisi cairan dingin. Tinggal setengahnya. Aku tahu Badi, Kamu sangat menikmati saat-saat seperti itu.
Saat dimana kamu duduk santai, tampak tanpa beban. Hanya terus mengonsumsi softdrink. Dengan sepotong fastfood. Sungguh nikmat hidupmu. Sadarkah kamu bahwa apa yang sering kamu konsumsi berpengaruh seutuhnya padaku. Padaku Badi.
“Badi, aku tidak membutuhkan itu. Sediktpun tidak”, kataku memperingatkanmu “Aku butuh cairan. Aku butuh vita…”.
“Sela!! Terima dan gunakan apapun yang aku berikan padamu”. Bentakmu “Aku yang lebih tahu segalanya”.
 Kamu masih ingat pertengkaran kita waktu itu kan Badi. Aku selalu berusaha memperingatkanmu. Bukan hanya sekali, berkali-kali aku mengirimkan sinyal. Tanda-tanda. Tapi tak sekalipun kamu memedulikannya.
Kalau aku harus terluka sekarang. Sebetulnya ini belum saat aku rusak. Tapi pola makan dan gaya hidupmu memaksaku. Mengharuskan aku menggunakan zat-zat yang tak memiliki nilai

Kamis, 21 Februari 2013

Hadiah Waktu Untukmu


_Setiap kisah memiliki waktunya
  Sekarang mungkin waktu bagi kisahmu
  Sedikit mengejutkanku

_Hingga aku sendiri belum tahu, kapan hatiku bisa kembali mencair
  Mempererat jalinan-jalinan yang kini sedang luka.
  Luka karenamu, juga bekunya hatiku yang menjadikan luka ini
  bertahan lebih lama.

_Tapi percayalah, aku merindukanmu
  Bersama sepatu-sepatu merah hatiku, yang sering kita pakai bergantian

Kamis, 14 Februari 2013

Menikmati Sakit



Menjadi datar
Membuatku mati

Aku telah mati separuh hidup
melalui hari secara biasa
Sedikit senyum, mengurangi tawa, tanpa mimpi

Ku izinkan takdir menggiringku kemanapun itu
biarlah berlalu titik-titik masa penuh cahaya
Menjadikan sinarnya bukan peluang

Belum saatnya. Belum sekarang
Ketertundaan yang tak pernah ku tunda
Kembali mengulang dengan alasan sama
Hingga satu per satu rambutku kehilangan matangnya

Aku tak lagi punya cukup waktu
Tak tahu harus memulai darimana
Negeri ini terlalu panas
Pemudanya bahkan telah mati lebih banyak dalam dirinya

Salahkan saja diriku
Tak menumbuh mekarkan pemudaku
Merelakan bangkai menebar aromanya dinegeriku

Lebih menyesakkan lagi
Karena aku kini telah hidup sepenuhnya
Baru menyadari
Bahwa ulatnya telah menggerogotiku
Tanpa mampu melakukan apapun
Hanya berdiam merasakan sakit
Hingga aku benar-benar mati
Bersama lenyapnya negeri dan pemudaku
Dalam hitungan detik.