Baju satu
Kalau boleh memilih aku tidak
ingin menjadi baju. Bebas dipakai oleh manusia dengan sesukanya. Dipilih dengan
sekehendak hati, namun baju tidak bisa memilih majikannya. Belum lagi bentukku
yang tidak jelas lengan dan kaki. Bangga pula designer melahirkanku dalam keadaan cacat seperti ini. Lengan tidak
utuh, leher kesempitan, dengan kaki baju tepat ditas lutut majikan. Bila ia
memasangkannya dengan rok tentu lebih baik, tapi lagi-lagi ia lebih suka
menggunakanku sendiri. Apa indahnya.
Kalau boleh mengutuki, aku akan
lebih banyak mengukuti yang melahirkanku. Tega nian dia melahirkanku bahkan
memajang di etalase kaca dengan tampilan buntung lengan. Baiklah aku menyukai
warna merah marunnya. Juga kain lembutku yang nyaman dan tidak melukai kulit
majikan. Selebihnya tidak ada yang membuatku suka. Terlebih bila majikan
menggunakanku dalam acara malam pada garden
party. Itu acara pertama yang membuatku menyaksikan banyak teman-temanku
bersama majikannya. Mereka sama menyedihkan denganku ditengah alunan musik,
hingar bingar dan minuman beralkohol ditangan majikan.
Mereka mendongkol kepada
majikannya. Tidak lagi peduli apa yang dilakukan sang majikan, bahkan saat
angin menerpa ia tidak lagi berusaha melindungi kulit majikan. Membiarkan ia
bergerak bersama angin. Terserah. Majikan pun tenang-tenang saja, kenapa aku
yang lebih banyak memusingkannya. Ini bukan urusanku, ini urusan majikan dengan
Sang Pencipta.
Baju Dua
Nasibku memang kurang beruntung.
Dilahirkan dari pabrik yang tidak begitu terkenal. Hanya beberapa hari
tergantung bersama ratusan baju yang lain, akhirnya tempatku beralih ke troli
yang menumpuk banyak pakaian obral disana. Aku masih perawan dan lembut saat
dikenakan. Belum pernah dijamah majikan. Warnaku juga indah, kuning soft. Entah siapa yang akan menjadi
majikanku kelak. Tampilanku memang tidak layak untuk dipakai ke pesta, tapi
setidaknya aku bisa berguna bila hanya ingin mengunjungi tetangga, ke pasar,
atau bersantai di rumah. Lenganku utuh tanpa cacat apalagi buntung, dan hargaku
juga tidak terlalu mahal.
Aku heran dengan manusia jaman
sekarang. Lebih suka memakai baju buntung ketimbang baju normal tanpa cacat.
Atau bila tidak cacat maka pasti baju itu sangat tipis dan transparan ditambah
lagi ketat membungkus, hingga rasanya oksigen dibumi ini semakin berkurang.
Lalu untuk apa mencipta dan memakai kaum kami kalau apa yang seharusnya kami
tutupi terlihat semua. Belum lagi harganya yang selangit dan dipakai dengan
bangga ke acara-acara yang tidak banyak ku pahami.
Baiklah, untuk tampilanku memang
tidak layak untuk ke pesta atau acara-acara bergengsi. Tapi ini hanya aku. Ada
jutaan temanku yang tidak buntung dan tidak pula transparan dan tentu saja
dengan kuota oksigen lebih banyak, layak dipakai ke acara resmi. Aku yakin
majikan yang menggunakannya akan tetap percaya diri, bahkan lebih yakin dengan
penampilannya.
Tapi temanku yang bersosok
sempurna seperti ini lebih banyak terpajang di toko tanpa ada majikan yang
berminat memiliki. Menanti berbulan-bulan. Hingga ada tangan-tangan yang
sekedar menyentuh dan merasakan kelembutan kainnya. Masalah harga tidak jauh
berbeda dengan yang buntung. Lantas bila yang normal harganya hampir sama
bahkan lebih murah ketimbang baju buntung, kenapa lebih memilih yang buntung.
Sungguh aneh jaman ini.
Baju Tiga
Aku tidak begitu yakin ini
keberuntungan atau musibah. Aku tahu dulu dibeli dengan harga mahal. Tentu
karena aku dilahirkan sebagai jaket tebal yang hangat dan lembut. Tapi setelah
bosan majikan menjualku dengan harga murah. Ditadah oleh penjual yang tak ku
ketahui dan menjualku kembali ke sisi lain dunia ini dengan harga lebih mahal.
Sungguh perjalanan melelahkan, bersama ribuan baju dengan nasib sama sepertiku.
Bertumpuk dengan bau apek.
Setelah perjalanan dan proses
jual beli, akhirnya aku kembali dipajang tentu bukan di etalase kaca. Hanya di
pasar tua atau dipinggir jalan saat malam tiba. Bukan hanya baju yang dijual,
ada pula temanku dari kaum selimut, tas, dan celana berbagai ukuran. Tapi
dengan nasib serupa, bekas.
Aku dan semua kaum kain memang
masih layak pakai, hanya saja majikan baru harus teliti saat membeli. Karena
kadang ada kain yang berlubang, kancing terlepas, dan tentu saja aroma yang
cukup menganggu pernafasan. Terlepas dari semua itu, harga kami lebih murah dan
jangka waktu pemakaian hampir sama dengan yang masih perawan.
Untuk ke acara formal pun kami
punya teman yang bersedia dijadikan kawan. Kawan yang mampu menutupi lebih
banyak kulit, melindungi dari hembusan angin, dan tampilan tidak mengecewakan.
Baju-Baju
Aku bertemu dengan teman baru,
dari tampilan sepertinya ia tidak dilahirkan oleh induk di daerahku. Tapi kami
sama sempurnanya. Tidak buntung. Ternyata kami tidak hanya bisa saling sapa
dari dalam kantong plastik masing-masing, kami dimasukkan ke dalam mesin
pencuci yang sama. Pembicaraan kami semakin menyenangkan terkait kisah
kelahiran kami hingga sampai ke majikan.
Tidak lama berselang, sebuah baju
dimasukkan pula bersama kami yang tengah khusyuk bercerita. Tampilannya sangat
menyedihkan, buntung lengan bahkan berbau alkohol. Tidak tega kami melihatnya
menanggung derita sendiri. Kami bukan teman-teman kain yang egois. Jadilah kami
saling membersamai.
Saat orang yang memasukkan kami
ke dalam mesin telah menumpahkan detergen dan pewangi, perlahan kami berputar
di dalam mesin. Teman baruku dari wilayah berbeda dengan tampilan yang tidak
buntung sebagai jaket hangat. Segera menempelkan dirinya dibagian punggung si
buntung dan menjadi lengan pula buatnya.
Sekilas tampak seperti busana
seorang perempuan yang mengenakan jaket tebal diluar pakaian ‘indah’nya. Untuk
lebih menguatkan ikatan, sigap saya melepaskan jahitan dan mengikatkan benang
ke lengan antara si buntung dan si jaket. Bukan hanya lengan, bahkan bagian
punggung pun saya rekatkan. Hingga benang-benang saya tak bersisa. Menyatu
bersama sahabat terbaikku.
Tak
peduli warna cairan dalam mesin pencuci telah berubah merah karena darah dari
benang dan kulit kami. Setiap pilihan memiliki resiko, dan kami memilih
melahirkan diri kami sendiri. Dengan bentuk lebih sempurna.Terinspirasi dari tulisan Sapardi Djoko Damono