Minggu, 13 April 2014

Mencipta Diri Sendiri




Baju satu
Kalau boleh memilih aku tidak ingin menjadi baju. Bebas dipakai oleh manusia dengan sesukanya. Dipilih dengan sekehendak hati, namun baju tidak bisa memilih majikannya. Belum lagi bentukku yang tidak jelas lengan dan kaki. Bangga pula designer melahirkanku dalam keadaan cacat seperti ini. Lengan tidak utuh, leher kesempitan, dengan kaki baju tepat ditas lutut majikan. Bila ia memasangkannya dengan rok tentu lebih baik, tapi lagi-lagi ia lebih suka menggunakanku sendiri. Apa indahnya.
Kalau boleh mengutuki, aku akan lebih banyak mengukuti yang melahirkanku. Tega nian dia melahirkanku bahkan memajang di etalase kaca dengan tampilan buntung lengan. Baiklah aku menyukai warna merah marunnya. Juga kain lembutku yang nyaman dan tidak melukai kulit majikan. Selebihnya tidak ada yang membuatku suka. Terlebih bila majikan menggunakanku dalam acara malam pada garden party. Itu acara pertama yang membuatku menyaksikan banyak teman-temanku bersama majikannya. Mereka sama menyedihkan denganku ditengah alunan musik, hingar bingar dan minuman beralkohol ditangan majikan.
Mereka mendongkol kepada majikannya. Tidak lagi peduli apa yang dilakukan sang majikan, bahkan saat angin menerpa ia tidak lagi berusaha melindungi kulit majikan. Membiarkan ia bergerak bersama angin. Terserah. Majikan pun tenang-tenang saja, kenapa aku yang lebih banyak memusingkannya. Ini bukan urusanku, ini urusan majikan dengan Sang Pencipta.

Baju Dua
Nasibku memang kurang beruntung. Dilahirkan dari pabrik yang tidak begitu terkenal. Hanya beberapa hari tergantung bersama ratusan baju yang lain, akhirnya tempatku beralih ke troli yang menumpuk banyak pakaian obral disana. Aku masih perawan dan lembut saat dikenakan. Belum pernah dijamah majikan. Warnaku juga indah, kuning soft. Entah siapa yang akan menjadi majikanku kelak. Tampilanku memang tidak layak untuk dipakai ke pesta, tapi setidaknya aku bisa berguna bila hanya ingin mengunjungi tetangga, ke pasar, atau bersantai di rumah. Lenganku utuh tanpa cacat apalagi buntung, dan hargaku juga tidak terlalu mahal.
Aku heran dengan manusia jaman sekarang. Lebih suka memakai baju buntung ketimbang baju normal tanpa cacat. Atau bila tidak cacat maka pasti baju itu sangat tipis dan transparan ditambah lagi ketat membungkus, hingga rasanya oksigen dibumi ini semakin berkurang. Lalu untuk apa mencipta dan memakai kaum kami kalau apa yang seharusnya kami tutupi terlihat semua. Belum lagi harganya yang selangit dan dipakai dengan bangga ke acara-acara yang tidak banyak ku pahami.
Baiklah, untuk tampilanku memang tidak layak untuk ke pesta atau acara-acara bergengsi. Tapi ini hanya aku. Ada jutaan temanku yang tidak buntung dan tidak pula transparan dan tentu saja dengan kuota oksigen lebih banyak, layak dipakai ke acara resmi. Aku yakin majikan yang menggunakannya akan tetap percaya diri, bahkan lebih yakin dengan penampilannya.
Tapi temanku yang bersosok sempurna seperti ini lebih banyak terpajang di toko tanpa ada majikan yang berminat memiliki. Menanti berbulan-bulan. Hingga ada tangan-tangan yang sekedar menyentuh dan merasakan kelembutan kainnya. Masalah harga tidak jauh berbeda dengan yang buntung. Lantas bila yang normal harganya hampir sama bahkan lebih murah ketimbang baju buntung, kenapa lebih memilih yang buntung. Sungguh aneh jaman ini.

Baju Tiga
Aku tidak begitu yakin ini keberuntungan atau musibah. Aku tahu dulu dibeli dengan harga mahal. Tentu karena aku dilahirkan sebagai jaket tebal yang hangat dan lembut. Tapi setelah bosan majikan menjualku dengan harga murah. Ditadah oleh penjual yang tak ku ketahui dan menjualku kembali ke sisi lain dunia ini dengan harga lebih mahal. Sungguh perjalanan melelahkan, bersama ribuan baju dengan nasib sama sepertiku. Bertumpuk dengan bau apek.
Setelah perjalanan dan proses jual beli, akhirnya aku kembali dipajang tentu bukan di etalase kaca. Hanya di pasar tua atau dipinggir jalan saat malam tiba. Bukan hanya baju yang dijual, ada pula temanku dari kaum selimut, tas, dan celana berbagai ukuran. Tapi dengan nasib serupa, bekas.
Aku dan semua kaum kain memang masih layak pakai, hanya saja majikan baru harus teliti saat membeli. Karena kadang ada kain yang berlubang, kancing terlepas, dan tentu saja aroma yang cukup menganggu pernafasan. Terlepas dari semua itu, harga kami lebih murah dan jangka waktu pemakaian hampir sama dengan yang masih perawan.
Untuk ke acara formal pun kami punya teman yang bersedia dijadikan kawan. Kawan yang mampu menutupi lebih banyak kulit, melindungi dari hembusan angin, dan tampilan tidak mengecewakan.

Baju-Baju
Aku bertemu dengan teman baru, dari tampilan sepertinya ia tidak dilahirkan oleh induk di daerahku. Tapi kami sama sempurnanya. Tidak buntung. Ternyata kami tidak hanya bisa saling sapa dari dalam kantong plastik masing-masing, kami dimasukkan ke dalam mesin pencuci yang sama. Pembicaraan kami semakin menyenangkan terkait kisah kelahiran kami hingga sampai ke majikan.
Tidak lama berselang, sebuah baju dimasukkan pula bersama kami yang tengah khusyuk bercerita. Tampilannya sangat menyedihkan, buntung lengan bahkan berbau alkohol. Tidak tega kami melihatnya menanggung derita sendiri. Kami bukan teman-teman kain yang egois. Jadilah kami saling membersamai.
Saat orang yang memasukkan kami ke dalam mesin telah menumpahkan detergen dan pewangi, perlahan kami berputar di dalam mesin. Teman baruku dari wilayah berbeda dengan tampilan yang tidak buntung sebagai jaket hangat. Segera menempelkan dirinya dibagian punggung si buntung dan menjadi lengan pula buatnya.
Sekilas tampak seperti busana seorang perempuan yang mengenakan jaket tebal diluar pakaian ‘indah’nya. Untuk lebih menguatkan ikatan, sigap saya melepaskan jahitan dan mengikatkan benang ke lengan antara si buntung dan si jaket. Bukan hanya lengan, bahkan bagian punggung pun saya rekatkan. Hingga benang-benang saya tak bersisa. Menyatu bersama sahabat terbaikku.
Tak peduli warna cairan dalam mesin pencuci telah berubah merah karena darah dari benang dan kulit kami. Setiap pilihan memiliki resiko, dan kami memilih melahirkan diri kami sendiri. Dengan bentuk lebih sempurna.


Terinspirasi dari tulisan Sapardi Djoko Damono

Kamis, 27 Maret 2014

Menemui Tere Liye




Sebelumnya saya tidak pernah betul-betul menemui Tere Liye melalui tulisan-tulisannya. Saya mulai menemuinya melalui ‘Moga Bunda di sayang Allah’. Bahkan saya tidak begitu yakin ini tulisannya yang ke berapa. Lebih parah lagi saya termasuk dalam deretan orang yang mengira bahwa Tere Liye adalah wanita!
Bukan tidak beralasan. Karena tulisan yang diciptanya sangat mengaduk perasaan dan terlalu menyentuh. Sungguh sastra mampu melembutkan hati yang kasar dan semakin melembutkan hati yang telah lembut. Namun bukan tanpa kekuatan.
Setelah menamatkan buku pertama yang saya baca, bermunculanlah banyak buku-bukunya di berbagai toko buku. Mungkin karena aku yang sudah terlalu lama tidak menginjakkan kaki ke toko buku. Terpajanglah serial anak-anak mamak – sementara Burlian, Pukat, dan Eliana. tidak ketinggalan 'bidadari-bidadari surga' juga 'hapalan shalat Dhelisa'. Saya membelinya? tentu tidak.
Buku ‘moga bunda di sayang Allah’ pun bukan milikku, salah seorang teman meminjamkannya. Saya tidak membaca serial anak-anak mamak, bukan karena apa-apa. Hanya saja sangat sedikit teman yang memilikinya. Kalaupun ada yang memiliki entah saya ada diurutan keberapa dalam daftar peminjamnya.
Pada akhir tahun 2013, lebih tepatnya bulan berapa aku lupa. Sedang tidak berminat menengok kalender saat menuliskan ini. Organisasi yang saya geluti, mengikuti lomba tentang lingkungan yang diadakan salah satu Koran terbesar di Indonesia bekerjasama dengan sebuah produsen alat dapur dan makan yang banyak diminati ibu-ibu saat ini. Nah, organisasiku ikut berpartisipasi dalam lomba nasional tersebut. Tidak pernah terbayangkan kami lolos masuk 10 besar yang diwajibkan untuk mengadakan acara tersebut di kota kami – Makassar.
Persiapan yang tidak begitu maksimal. Waktu semakin memburu, menjadikan kami harus melakukan segalanya lebih cepat. Mulai dari rapat terkait acara, lokasi kegiatan, para tetamu, publikasi dan banyak hal lain yang kami persiapkan tentu dengan bantuan besar dari pihak penyelenggara lomba – termasuk dana kegiatan yang cukup besar nilainya.
Salah satu agenda acara kami menghadirkan Tere Liye. Beliau mengaku ini adalah acara kepenulisan pertama yang membawanya ke Makassar. Senang tentu melingkupi kami. Juga aku, aku untuk pertama kalinya menyaksikan tere Liye dengan segala kesederhanaannya. Sekaligus menyadarkan diriku sendiri bahwa Tere Liye bukan wanita. Peserta? sangat banyak yang mengagumi kata yang dilahirkannya. Sayapun menyukai tulisannya. Berebut peserta meminta tanda tangan di buku mereka yang sengaja dibawa ke acara. Saya? Tentu tidak meminta tanda tangan karena memang saya tidak memiliki bukunya. Tak satupun.
Saya lebih senang membaca buah pikiran Tere Liye lantas menyimpannya dalam ingatanku, mengutip beberapa paragraph yang senang untuk aku baca kembali. Ada banyak paragraph penuh hikmah. Dalam sebuah bukunya yang aku tamatkan. Namun, untuk membeli bukunya aku belum terpikirkan.
Tak lama berselang, muncullah buku Tere Liye yang lain – sunset bersama rosie, kau aku dan sepucuk angpau merah, sekeping hati yang baru. Saya membaca ketiganya. Namun, tetap tidak membelinya. Saya selalu ingin menemui Tere Liye lewat tulisannya namun tidak berniat memiliki tulisannya. Salah satu alasan karena sudah terlalu banyak orang dekatku yang mengagumi tulisan-tulisanya. Sungguh ini alasan terbesarku.
‘Negeri para bedebah’ juga telah aku telusuri, begitupun dengan ‘Negeri di ujung tanduk’. Namun sama seperti tulisannya yang lain. Aku membacanya lantas mencatat di notebook yang menurutku perlu untuk aku ingat kembali. Lantas mengembalikan buku tersebut kepada pemiliknya.
Pada akhirnya, aku membaca lagi buah pikiran, harapan, dan jiwa Tere Liye. Melalui bukunya ‘Rembulan tenggelam di wajahmu’. Ini buku pertama yang membuatku tidak puas hanya menemui Tere Liye dalam ingatanku setelah menuntaskan tulisannya. Aku ingin memiliki buku ini. Aku jatuh cinta pada buku ini. Lebih dalam. Tak tahu lagi aku caranya menyimpan ingatan lebih lama. Tanpa memilikinya di rak buku pribadiku.
Semoga Tere Liye terus saja mampu memberikan inspirasi, harapan masa depan, dan pemaknaan hidup yang lebih positif, serta penuh kebaikan. Pada setiap anak bangsa. Melalui tulisan-tulisannya. Menjadikan tulisan ini salah satu pemberat timbangan amal kebaikannya kelak. Aamiin. Salam pena.

Selasa, 28 Januari 2014

Cinta adalah Mama


Sudah dua puluh tahun. Menginjak dua puluh satu. Belumlah saya bisa memberi lebih banyak manfaat kepada Mama. Masih saja sering merengek dan marah atas keputusan yang telah dipikirkan matang untukku. Bersyukur Ayah menjadi penetralisir dengan tutur lembut penuh kepahaman. Ayah selalu lebih bisa memahamiku. Itu pikirku selama beberapa tahun.
Membiarkannya begitu. Sampai waktu melahirkan lebih banyak kesadaran padaku. Betapa saya membutuhkan Mama. Seberapapun seringnya saya mengingkari, namun jauh didalam diriku saya butuh Mama. Bersama dekapan hangat mendamaikan yang selalu menjadi tempat kembali. Penuh rindu. Tanpa beban. Bahkan seusia inipun saya masih butuh pelukan hangat mama. Selalu.
Perbincangan-perbincangan ringan yang baru menghitung bulan dalam suhu sejuk antara Mama dan seorang gadis bukan lagi sebagai anak kecilnya yang egois, menjadikan jarak tak lagi renggang, membuatku sedikit banyak memahami Mama. Mulai dari pakaian yang dipercayakannya padaku untuk membeli, walau setelah sampai padanya ada yang kebesaran. ‘bajunya kebesaran Nak, tapi akan tetap saya pakai’. Itu saja kalimatnya.
Mama memang bukan tipe orang yang gamblang dalam mengungkapkan rasa sayangnya. Menutupi sakit dan tampak tegar saja saat dihadapan kami. Bahkan jengkel pun diredakannya dalam diam. Dan saya salah satu penyebab terbesar kejengkelannya. Dulu – saat saya bertumbuh bersama adikku. Saya sungguh super menyebalkan dan saat dimarahi langsung nangis. Menyebalkan bukan?
Namun begitulah cinta. Mama dengan segala kesabarannya mendampingiku. Walau tetap saja ada rasa cemburu karena kepedulian yang lebih besar Mama diberikan kepada adikku. Dengan kesan yang seolah menggambarkan saya anak Ayah dan Ari anak Mama. Itu dulu.
Setelah mendamai waktu, dengan jarak terbentang luas antara saya yang di Makassar, adikku di kampung, Ayah dan Mama di Mamuju. Pertemuan yang hanya sekali dalam setahun, saling berkirim kabar lewat telpon. Dan tentu saja Mama yang hampir setiap hari menelponku. Berbeda dengan adikku yang kadang lebih dulu menelpon Mama atau Ayah.
Mengenai pakaian Mama yang kebesaran, saya minta maaf. ‘maafkan anakmu Ma’. Mengira postur tubuh Mama masih sesegar dan seberisi dulu. Perlahan penyakit diabetes yang diturunkan dari nenek semakin tampak juga pada Mama. Mungkin kelak juga padaku. Hingga menjaga pola makan adalah pilihan bijak bagiku.
Mama yang memilih-milih makanan hanya saat penyakitnya kambuh dan menyantap semaunya bila merasa kondisi tubuhnya sedang baik saja. ‘saya mau makan apa lagi kalau semua makanan dihindari Nak?’. Glek. Pada akhirnya harus menemui dokter lagi, rumah sakit lagi, infus lagi, obat lagi untuk memulihkannya. ‘Saya capek minum obat Nak’, begitu katanya suatu ketika di telpon.
Tuhan. Apa yang harus saya lakukan. Mengingatkan Mama untuk menjaga konsumsi makanan dan pola makannya tidak selalu berhasil. Apa gunanya saya disekolahkan tinggi-tinggi sebagai ahli gizi bila untuk menyehatkan kedua orang terkasih dan berarti dalam hidupku saja saya belum mampu. Sungguh sangat menyesakkan. Saya merasa menjadi manusia paling merugi dan kehilangan manfaat.
Maafkan anakmu ini Ma. Mohon doakan – aku tahu segala doa telah Mama rapalkan rutin untukku tanpa aku minta sekalipun – semoga kemudahan dalam menuntut ilmu diberikan Allah SWT kepada kami anak-anakmu dan setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam meraih ridho-Nya. Menjadikannya pemberat timbangan kebaikan diyaumul akhir kelak. Semoga kita sama-sama diberi umur yang panjang dengan sebaik-baik penggunaannya. Juga  keistiqomahan dalam menjaga kesehatan demi sebaik-baiknya ibadah. Hingga Ayah dan Mama bisa merasakan kesuksesan kami, menyaksikan cucu-cucu Mama dan Ayah lahir, bertumbuh, berproses dalam kehidupan dengan sebaik-baik proses hingga dewasa dan berkeluarga dalam keberkahan cinta. Yang diturunkan dari kakek dan neneknya. Selalu mencintai Mama. Juga Ayah dengan nasehat rutinnya setiap menelpon, ‘jaga shalatmu Nak, perhatikan pelajaranmu, dan dzikrullah’.
Terima kasih Rabb atas segala nikmat-Mu yang tak terhingga.

Jumat, 24 Januari 2014

Waktu hanya milik Anak Muda


Tidak ada cara lain untuk menjadi pribadi berkualitas, kecuali melalui proses secara ksatria. Segala pilihan aktifitas hari ini, akan lebih banyak memberi imbas pada masa depan.

Sesekali sadar, tapi lebih banyak terbuai dengan nikmat sehat. Banyaknya waktu luang. Ramainya tawa dan candaan hampir di setiap kita bersua. Seakan hidup ini selalu muda buat kita. selamanya akan baik-baik saja. Tanpa ada yang perlu dipertanggungjawabkan kelak.

Usia dua puluh semakin merangkak menjauh. Namun, memikirkan masa tua seakan belum masanya. Belum waktunya merencanakan kehidupan secara bijak dengan kebermanfaatan berarti. Belum saatnya memikirkan menikah, berkeluarga, apalagi memiliki penerus sejarah. Belum sekarang. Itu pemikiran sebagian kita.

Setiap kejadian akan tiba pada waktu yang tepat. Lantas kapan waktu itu tiba? Bila kita masih saja sibuk dengan diri sendiri. Dengan segala kesenangan-kesenangannya. Bagaimana bisa mengelolah organisasi besar, bila mengelola organisasi keluarga kecil saja belum terpikirkan? Mimpi-mimpi yang seakan tidak akan bisa terwujud bila mendahulukan pernikahan. Ingin kerja dulu, punya penghasilan sendiri biar tidak merepotkan pasangan lebih banyak terkait keuangan. Itu pemikiran sebagian kita yang lain.

Bukankah mempersiapkannya sekarang tidaklah salah? Belajar lebih banyak. Pemanfaatan waktu lebih produktif. Berkarya. Hingga waktu menjawabnya dengan keajaiban.

Perencanaan adalah milik kita. namun penentuan final ada pada Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Penentu. Biarlah kita merencakan segala mimpi bersama waktu. hingga kerja keras kita akan melahirkan buktinya.

Lelah juga setiap hari menyaksikan segala tingkah yang selalu merasa benar dan semaunya dari sebagian kita. menganggap angin lalu rentetan nasehat dari orang-orang pengguna lebih banyak jatah waktu. seakan kita lebih tahu asam manis kehidupan.

Apa yang masih kita miliki hari ini? Kekayaan alam yang dikelola asing. Hasil laut melimpa ruah untuk tentangga. Lantas dengan entengnya mencekik bangsa. Dengan alasan terkesan dipaksakan rasional. Entah untuk kepentingan apa dan siapa. Kenapa tidak kita urus sendiri milik kita?

Berhentilah bertingkah bodoh. Kembalilah belajar tentang kehidupan. Janji. Harapan. Waktu. Masa muda. Hari esok. Dan Kejujuran.

Apa jadinya negeri ini esok di tangan-tangan kita? Mari instrokpeksi diri.

Selasa, 21 Januari 2014

Bangku Tunggu #1



Duduk sendiri di bangku tunggu. Tanpa seorang pun sanak mendampingi. Sesekali bersandar ke belakang. Kadang menegakkan punggung. Saat lelah menanti ia lantas berdiri mengintip pada daun pintu yang sedikit memiliki celah untuk melihat suasana di dalam ruangan melalui kaca yang sengaja di design khusus pada bagian atas pintu. Sejajar dengan bahu orang dewasa.

Hanya sepersekian detik berdiri. Lalu duduk kembali pada kursi tunggunya. Tenang kembali. Bagi dirinya saja. Karena sesungguhnya ruangan itu sangat riuh dengan berbagai sumber suara. Dari mesin otomatis pemanggil nomor antrian, teriakan anak kecil memanggil ibunya, perbincangan orang-orang dengan teman duduk disebelahnya, suara tivi yang tak kalah bising, dan berbagai suara yang memenuhi ruang tunggu. Menjadikan suasana semakin gaduh.
Tak lama berselang. Ia berpindah ke bangku panjang dengan kapasitas empat orang dewasa. Duduk tepat di sebelah pintu ruangan berharap agar namanya segera disebutkan oleh perawat untuk masuk ke ruangan tersebut. Menyampaikan segala keluhan untuk mengurangi sakitnya...

Minggu, 12 Januari 2014

Surat Cinta



Untuk saudari-saudariku seiman yang aku cintai karena Allah. Izinkan saya memulai tulisan ini dengan kalimat cinta. Semoga kelak kita dipertemukan kembali di surga-Nya.

Berada di jalan ini tidak mudah. Banyak hal yang harus kita korbankan. Waktu, perasaan, jiwa, hati, harta, bahkan air mata dan darah bila itu yang bisa membawa kita pada sebaik-baik perjumpaan dengan-Nya.

Terlalu banyak luka yang harus kita rasakan di jalan ini. Maka saya ingin mengatakan bertahan. Bertahanlah. Dengan segala kapasitas yang telah diberikan kepada kita. bertahanlah dengan semua rasa sakit ini, demi melihat esok anak cucu kita memiliki warisan yang masih bisa untuk diperjuangkannya.

Rasa sakit, kecewa, tangisan, luka ini tidak akan lama. Tidak selamanya kita hidup dengan setiap kepedihan ini. Karena kita mampu untuk melalui semuanya dengan sebaik-baik proses. Tidak ada permata indah tanpa melalui bara dan tempaan yang lebih panas dari yang lain. Maka bertahanlah.

Kita kuat. Sepanjang ukhuwah ini masih menancap kokoh dalam diri-diri kita. kita kuat. Selama iman tak goyah dalam jiwa kita. kita kuat. Bila kita bersama saling berangkulan dalam setiap ujian. Kita kuat ukhti. Karena kita saling mencintai karena Allah. Bahkan benci pun karena Allah.

Cacat pada barisan ini, jangan sampai menjadikan kita semakin menarik diri dari dakwah. Jangan sampai menghadirkan banyak kecewa dalam nurani kita. menjadikan setiap kerja-kerja kita tanpa ruhiyah. Istighfar ukhti.

Bukankah kelak kita tidak diminta pertanggungjawabannya oleh Allah secara berjamaah. Masing-masing kita akan bertanggungjawab atas apa yang telah kita infaqkan untuk kejayaan islam. Kelangsungan dakwah ini. Mari bekerja dengan sebaik-baiknya ikhtiar. Urusan hasil biarlah sepenuhnya kita serahkan pada Allah. Karena Allah tidaklah selalu melihat hasil, tapi proses perjalanan kita ukhti. Mari introspeksi diri.

Sadar atau tidak. Sedikit banyak mungkin kitalah pemantik api-api kemaksiatan. Menjadikan keberkahan dakwah ini semakin mencapai penghabisannya. Tidak perlu terlalu banyak prasangka ke sekeliling kita. mari lihat kembali hati kita. niat kita. tujuan kita.

Sudah benarkah hijab kita ukhti? Murnikah niat kita untuk Allah? Bermanfaatkah setiap waktu yang kita habiskan? Siapkah kita dengan segala amalan bila Allah memanggil kita satu jam lagi?

Bukankah pada akhirnya kita hanya akan menemui satu dari dua tempat. Surga atau neraka. Kita bisa melihat dari aktifitas kita ukhti. Kita akan lebih condong ke surga atau neraka. Saat kita tidak sedang melakukan kebaikan dalam satu detik yang kita habiskan tanpa disadari menjadi menit jam hari pekan bulan bahkan tahun berganti, percayalah kita sedang melakukan keburukan, kesia-siaan, kemaksiatan ukhti.

Masihkah ada keburukan-keburukan yang rutin kita lakukan? Berhentilah ukhti. Sekarang. Kita memperbaiki dakwah ini melalui diri-diri kita. sudahkah tepat waktu shalat wajib kita? sudahkah rutin lail kita? dhuha yang tidak lagi kita tinggalkan? Tilawah kita sudahkah tartil? Hapalan kita terus bertambahkah atau malah berkurang secara perlahan? Mari mempergunakan waktu muda dengan sebaik-baik tindakan, proses.

Bukankah dosa kecil yang terus menerus dilakukan, akan menggunung tinggi bila masih saja kita kerjakan. Dengan dalih “tidak apa-apa” atau “Cuma sekali-kali sekedar refreshing”. Tidak ada jaminan kita selamat dari api neraka. Kita tidak tahu dari kemaksiatan mana murka Allah akan turun. Kita juga tidak tahu dari kebaikan apa yang bisa membawa kita ke surga-Nya. Jadi yang perlu kita lakukan adalah tetap istiqomah dalam kebaikan ukhti.

Manusia terbatas dalam pengetahuannya. Mungkin kita tampak mulia dihadapan saudari kita. hingga muncul benih-benih kebanggan pada diri yang rapuh dan lemah ini. tapi, mungkin tidak dihadapan Allah. Hanya masing-masing kita yang tahu apa yang kita perbuat sepanjang hari. mari tengok kembali aktifitas kita ukhti.

Mampukan diri untuk menemui-Nya dengan sebaik-baik pengembalian. Gunakan mata, telinga, mulut, hati, pikiran, kaki, tangan, harta, hanya untuk hal-hal yang bisa kita pertanggungjawabkan kelak di hadapan-Nya. Mari perbaiki diri ukhti. Meraih keabadian dan keindahan surga memang tidak mudah. Semoga kita dikuatkan untuk tetap istiqomah dalam kebaikan. Aamiin.





Dengan sepenuh cinta,



Saudari yang selalu merindukanmu